9/30/12

Kopi dan Teh #2

Sabtu yang cerah-walaupun sedikit membosankan-Navita baru saja selesai memakai baju dan berdandan  rapi layaknya seorang Putri kerajaan. “Navi mau kemana? Udah rapi aja,” Papa Richard mencium kening anak tirinya itu. “Gak kemana-mana sih, Pap Rich. Cuma pengen rapi aja,” Navita memeluk Papa Richard. “Oh iya, ngomong-ngomong Mama sama Donita kemana?” Donita adalah adik Navita yang dilahirkan
Mama Gita setelah menikah dengan Papa Richard. “Mama nganter Donita ke sekolah, ada acara katanya. Sudah, kamu makan sama Papa aja yuk!” Papa Richard mempersilakan Navita duduk. Walaupun anak tirinya, Papa Richard sudah menganggapnya seperti anak kandung. Bahkan terkadang ia lupa kalau dirinya mempunyai seorang anak tiri.

“Oh iya, Navi mau gak ditinggal Papa Richard dulu  selama seminggu? Papa mau ke Singapura, ada tugas disana,” Navita mulai melahap roti bakarnya. “Hm, kapan Pap? Jangan lama-lama, Navita bakal kangen Pap Rich! Terus nanti siapa yang jagain Mama kalau Navi sama Donita belum pulang sekolah?” tanya Navita. “Senin saying. Uh, Papa juga pasti kangen Navi sama Donita! Cuma seminggu aja, tenang! Hm, sama Dad Nino gak apa-apa, kan?” tanya Papa Richard dengan hati-hati. “Engga, Pap! Navi gak mau Mam Gita sama si Ninonano itu ketemu lagi!!” Navita meninggikan suaranya. “Dad Nino, Navita sayang! Tapi Pap Rich udah janji sama Dad Nino, kalau butuh apa-apa harus ke Dad Nino. Nah, ini saatnya,” Papa Richard mulai merangkul Navita. “Ngga, Pap! Navi gak mau manggil ‘Dad’! Dia udah jahat sama Mam Gita!” mata Navita mulai berkaca-kaca. “Tapi-” Papa Richard tidak tahu harus berkata apa lagi. “Okay, kalau itu mau Pap Rich, Om Nino boleh kesini selama Pap Rich di Singapura. Tapi Mama harus ikut ke Singapura! Navi gak mau Mama kecewa lagi, Pap!” Navita mulai menangis.

Papa Richard akhirnya menuruti apa kata Navita. Dia membiarkan Mama Gita ikut ke Singapura agar tidak bertemu Nino-lelaki yang membuat Navita buta sebelah, yang menghancurkan Mama Gita-Papa Richard mengerti, Navita trauma. Tapi khawatir akan terjadi sesuatu pada Navita nanti. Papa Richard sudah menyuruh adik perempuan Papa Richard untuk menggantikan peran Mama Gita sementara.
***
Jenuh memang duduk sendirian di perpustakaan jalan. Disitulah Navita sekarang. Dengan memakai  celana jeans hitam dan  baju biru. Sendirian. Hanya ada tumpukan-tumpukan buku dan orang-orang yang tidak ia kenali.

Aku jenuh. Aku bosan terus seperti ini. Dan akankah terus seperti ini? Aku rasa..iya. Aku tidak yakin bisa mengubahnya. Mataku-buta.

Suasana langit mendung. Ia memutuskan untuk masuk ke mobil. Benar saja, tak lama kemudian hujan turun. “Pak, ke café biasa ya!” Navita mulai memakai jaketnya karena udara mulai dingin. Dia juga mengganti ikatan rambutnya dengan bandana berwarna ungu tua. Rambut hitam dan lurus terurai rapi hingga punggung atas. Kemudian dia memainkan handphonenya lagi.

Setibanya di café, masih saja hujan deras. “Pak, ayo masuk ke dalam bareng Navi. Disana ada kopi, ada makanan juga. Nanti Navi yang bayar deh. Yuk,” Navita mengedipkan mata kanannya. Pak Sino mengangguk setuju. Beliau mematikan mesin mobil dan membuka payung miliknya pribadi. Navita yang sudah keluar terlebih dulu menunggu Pak Sino di depan pintu café.

“Pak, duduk disitu aja ya. Navi lagi pengen sendiri,” katanya tersenyum. “Siap, neng. Nanti kalau mau pulang dateng aja ke bapak ya,” Navita mengedipkan mata kanannya-lagi. Navita berjalan ke tempat biasa dia duduk di café bersama Sandi.  Dan hari ini, dia akan bertemu dengan Sandi lagi untuk meluapkan segala isi hatinya saat ini.

“Hello, Navita! Wew, you look so good today! I like your bandana,” Sandi menyimpan tasnya lalu mengeluarkan laptop. “Thank you, Sandi. Hm, I think your style is better if you wear a jacket maybe,” Navita meminum kopi kesukaannya, Espresso. “Hm, thank you for your opinion, Navita. Oh ya, lo udah diajarin tentang  ini?” tanya Sandi sambil memperlihatkan soal kimia pada Navita. “Udah, kenapa? Sandi gak ngerti?” Sandi  mengangguk. “Ini sih gampang, San! Nih ya…” navita mulai mengerjakan soalnya dan  menjelaskannya pada Sandi. Mereka tampak sangat akrab.

-Sandi’s P.O.V-

Navita sangat cantik ketika rambutnya dibiarkan terurai. Navita berbeda dengan gadis umur 17 tahun lainnya. Cara bicara yang masih kekanak-kanakan tapi pikirannya sudah dewasa. Sandi sebenarnya kasihan dengan keadaan Navita. Dia ada didunia ini secara tidak sengaja akibat seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab, yang telah  merusak segalanya bagi Mama Navita. Sandi tahu, Navita trauma sejak kejadian itu. Dia ingin menjaga Navita dari laki-laki siapapun yang berniat untuk menurunkan harga dirinya dan mengulang kejadian yang menimpa Mama Navita dulu.

-Sandi’s P.O.V end-

“Terus kenapa bisa hasilnya segini? Gue itung gak segitu tuh!” Sandi menyeruput secangkir teh lagi untuk menenangkan pikirannya. “Sandi, tadi kan udah Navi jelasin! Masa gak ngerti juga?” Navita memukul Sandi dengan pulpen yang berada ditangannya. “Tunggu, minjem catetan lo, deh! Oh iya, gue ngerti! Thanks Navita!” Sandi dengan cepat menulis ulang tulisan Navita.

“Oh iya, lo mau cerita apa?” tanya Sandi setelah selesai menulis tugasnya. Navita menceritakan kejadian hari Senin, saat Lidia tidak  masuk. Air mata Navita mulai jatuh-lagi. “Navi gak boleh nangis! Nanti mata kiri lo sakit lagi!” Sandi mengusap pipi kanan Navita.

“Ya sudah, sekarang lo tinggal berdoa aja supaya Lidia gak kenapa-napa. Jangan negative thinking dulu,” Navita tersenyum. “Eh iya, udah sore tuh. Hujannya udah reda. Pulang sana, nanti lo capek. Obatin juga tuh mata lo, pasti perih lagi kan?” tanya Sandi. “Okay, Sandi. Navi udah ngerasa lebih baik sekarang. Sandi gak pulang?” tanya Navita. “Iya, gue pulang kok! Yuk, keluar bareng!” Sandi merangkul Navita dengan hati-hati. Ternyata, Navita merasa cukup nyaman ketika dirangkul Sandi.
***
Senin pagi! Jam beker Navita berbunyi cukup keras. Navita bangkit dari tempat tidurnya walaupun cukup malas. Dia melangkahkan kaki keluar kamar untuk shalat Shubuh dan mandi. Navita juga datang ke kamar Donita untuk membangunkan adiknya yang masih tertidur lelap.

Setelah  selesai mandi dan berdandan rapi, Navita turun ke ruang makan untuk sarapan. “Ibu Ninda, sudah masak a-” Navita kaget. Om Nino sudah duduk manis dan siap menyambut Navita dan Donita. “Ibu Ninda, Pap Rich dan Mam Gita kemana?” tanya Navita yang tidak peduli dengan keberadaan Om Nino. “Mereka sudah berangkat tadi pagi, sayang. Oh iya, Mam Gita titip pesan nanti siang sepulang sekolah jangan lupa untuk menjemput adik Pap Richard,” ujar Bu Ninda. Navita menganggukan kepalanya diikuti Donita. “Bu, rotinya Navi makan di mobil aja. Lagi gak ada nafsu makan nih. Sekalian Donita juga ya,” Navita berteriak.

“Okay, makasih Bu Ninda! Navi sama Donita pergi dulu ya. Jaga rumah baik-baik. Hati-hati juga  di rumah ya, Bu. Takut ibu dirusak, hiii!” Navita melirik ke arah Om Nino dengan ketus.

Tidak terlihat muka bersalah satu garis kerut pun! geram Navita.
***
“Navita kenapa murung? Tumben banget,” sapa Dinan. “Gak apa-apa, Dinan. Siapa yang murung?” Navita memaksakan dirinya untuk tertawa. Dia tidak pernah menceritakan apapun tentang Mam Gita dan Om Nino kepada sahabatnya. Navita duduk di bangku kedua dari depan setelah Dinan dan Syarah. “Navi, kenapa sih? Sakit?” tanya Mina sambil memegang kening Navita. “Navi cuma kangen sama Pap Richard sama Mam Gita kok,” senyum Navita kali ini meyakinkan ketiga sahabatnya. “Orang tua Navi kenapa?” mata Dinan melebar-tidak melotot, karena Dinan mempunyai mata yang kecil-sambil menutup buku bahasa Inggris yang baru saja dia baca. “Pap Richard  sama Mam Gita pergi ke Singapura, mereka dapet tugas disana untuk seminggu ini,” jawab Navita. Ketiga sahabatnya lalu memeluk Navita dengan erat sebelum bel masuk berbunyi.

“Navita! Nilai ulangan kimia berapa?” tanya Reina sambil menutup kertas ulangannya. Navita memberikan kertas miliknya pada Reina. “100?! Hebat!!!” Reina berteriak cukup kencang sehingga terdengar satu kelas. Seluruh temannya bersorak, Navita tersenyum. Mungkin ini yang bisa menghibur dirinya selagi dia tidak bersama orang tuanya dan Sandi.

“Navi, bisa kali ajarin gue kimia! Gue remedial nih,” kata Agni-teman lawan jenis Navita. “Asik Agni! Tembak! Tembak!” Navita merasa risih dengan sorakan dari teman Agni. “Apa sih maksud kalian? Agni gak suka sama Navi! Navi juga gak suka  sama Agni,” Navita berlari menjauh dari Agni dan teman-temannya. Agni terlihat kecewa dengan perkataan Navita tadi. Apa ada yang salah? Tanya Navita dalam hati. Dia segera berlari menuju kantin untuk membeli kopi. Siapa tahu dengan meminum kopi dapat menenangkan perasaannya tidak karuan.

“Bu, Cappucino Ice satu ya,” Navita langsung mencari tempat duduk yang kosong. Setelah itu dia mulai menulis di buku harian yang diberi Pap Richard dari Paris.

Seandainya ada Sandi disini. Mungkin Navi udah nangis, meluapkan semua perasaan Navi yang gak karuan.

“Ini neng Navita, Cappucino Icenya,” Ibu penjaga kantin favoritnya menghampiri Navita yang sedang melamun sambil membolak-balikkan buku hariannya. “Okay, makasih, Bu. Navi bayar sekarang aja ya,” Navita memberikan satu lembar uang Rp 10.000 pada Ibu penjaga kantin itu. “Ini neng kembaliannya, makasih ya,” Navita mengangguk dan tersenyum lalu memandang buku hariannya lagi.

“Navi, ke rumah Dinan yuk!” Dinan menarik tangan Navita yang sedang berjalan pelan ke luar kelas. Navita menggeleng, “maaf Dinan, bukannya Navi gak mau. Navi harus jemput Donita dulu. Habis itu harus les pula. Maag banget, Dinan,” Navita memeluk Dinan dengan halus. “Yah, padahal Dinan mau ngasih oleh-oleh yang pastinya Navi suka loh! Tapi, no prob, deh! Nanti malem Dinan ke rumah Navi ya buat ngasih barangnya. Hati-hati, Navi!” Dinan melambai tangannya lalu menghampiri Syarah dan Mina yang sudah menunggunya di mobil.

Maaf Navi harus bohong ke kalian semua. Navi gak mau kehilangan kalian gara-gara mata kiri Navi. Navi gak mau kehilangan kalian karena  asal-usul Navi.

Navita membuka pintu mobilnya dan tersenyum manis pada Pak Sino. Kemudian Pak Sino melajukan mobilnya menuju café tempat ia jatuh cinta pada kopi dan bertemu Sandi-sang pecinta teh.

“Hai, Navita! Tumben kita dateng barengan, hahaha. Masuk yuk,” Sandi membukakan pintu dan  merangkul Navita. “Oh iya, San! Tadi Navi dapet 100 loh kimia!” ujar Navita memulai pembicaraan. “Uh, really?! Congrats, Navi! Lagian lo tuh otaknya kebanyakan kopi atau gimana sih, kimia jago banget lo!” Sandi mengacak-ngacak rambut Navita yang tidak berponi  itu. “Sandi juga, otaknya teh semua  kali ya, biologinya jago banget! Ah, Navi pengen cerita lagi,” Navi mulai menceritakan kejadian di kelasnya tadi.

“Gue ngerti, lo pasti trauma kan? Ya, walaupun bukan lo yang ngalamin, tapi lo pasti gak mau kejadian itu keulang lagi kan?” Navita mengangguk setengah menangis. “Tenang, Navi pasti aman selama ada gue disini. Sama halnya kayak secangkir kopi dan teh ini. Mereka berbeda, tapi selalu bersama. Dimana ada kopi, pasti ada teh. Begitu pun sebaliknya,” Navita tidak mengerti. “Lo suka sadar gak? Di rumah, di café, atau dimana pun dan kapan pun orang-orang berkumpul pasti ada kopi dan teh. Nah, itulah gue. Gue bakal ada buat lo, dimana pun dan kapan pun,” jelas Sandi. Navita tersenyum. Baru kali ini ada lelaki-selain Pap Richard dan Pak Sino-yang membuat Navita tersenyum.

No comments:

Post a Comment

Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.