6/30/13

Maaf, Semuanya Terlambat (2)

Hari liburan pun usai. Aku kembali beraktifitas di sekolah. Sejujurnya aku merasa sedih, teman-teman dekatku sewaktu kelas 10 kini berbeda kelas denganku, termasuk Rasyid. Tapi aku juga tidak cukup khawatir untuk beradaptasi dengan teman-teman baru.
“Selamat pagi, selamat datang di kelas baru. Ingat, kalian sekarang bukan lagi anak-anak…” Aku mendengarkan wali kelasku berpidato di depan kelas dengan sedikit malas.
Pada jam istirahat, aku sengaja pergi ke kantin untuk bertemu Rasyid, Hani, dan teman dekatku yang lain. Mereka bercerita tentang kelas baru yang mereka tempati kini. Ada yang terdengar murung karena merasa kurang nyaman, ada juga yang terdengar bahagia karena satu kelas dengan gebetan-itu sebutan untuk orang yang mereka kagumi.
“Um, hai, Gracia!” seseorang menepuk pundakku. Aku tercengang, “Soni? Kenapa..”. “Aku mutasi kesini, aku pengen liat kamu lagi,” katanya dengan tampang polos. “Lo siapa?” tanya Rasyid datar. Kenapa? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Syid, ini temen SMP gue yang pernah gue ceritain itu. Son, ini Rasyid, pacar gue,” kataku berusaha menyembunyikan kegelisahanku. “Oh, dia temen sekelasku. Kamu ketua kelas itu kan?” tanya Soni. Rasyid mengangguk dan sedikit tersenyum.
Berawal dari pertemuan kembali di kantin itu, Rasyid dan Soni menjadi cukup dekat. Hanya saja, Rasyid berusaha agar aku sedikit menjau dari Soni. Sudahlah, ini tidak perlu dibahas menurutku. Intinya, Soni sudah bergabung dengan teman sepermainanku.
***
“…Son, ini Rasyid, pacar gue.”
Dengan wajah polosnya Gracia berkata seperti itu. Entah kenapa saat gadis berkata seperti itu, hatiku ingin meledak. Aku rela pindah sekolah hanya untuk bertemu dengannya. Aku berjuang mati-matian untuk membujuk orang tuaku agar mereka mau menuruti permintaanku ini. Tapi dia sama sekali tidak menyadarinya. Tunggu. Bagaimana dia bisa sadar semua perjuanganku? Aku memang sengaja tidak memberitahunya agar menjadi sebuah kejutan. Ah, yang terpenting aku sudah menunjukkan pada Gracia bahwa aku sayang padanya.
***
Hari ini, aku telah bersiap untuk bermain bersama teman-teman seperti biasa. Walaupun aku dan mereka berbeda kelas, aku tetap merasa lebih nyaman bermain dengan mereka. Ada satu hal yang berbeda dari biasanya. Yap, Soni juga ikut bermain bersamaku. Sebenarnya aku sudah tidak mempunyai perasaan seperti dulu, hanya saja aku khawatir pada Rasyid. Sikapnya yang berubah menjadi dingin saat aku berdekatan dengan Soni adalah salah satu hal yang ku takuti. Apalagi pagi ini, Soni mengajakku untuk berangkat bersama dan menyuruh Rasyid untuk tidak menjemputku. Ah, kacau.
“Rasyid!!” aku berlari ke arah Rasyid setelah turun dari motor yang dikendarai Soni. Rasyid tersenyum lebar saat aku memanggilnya, tapi berubah menjadi datar saat melihat Soni. “Rasyid, sudah. Gue kan cuma dianter kesini doang. Kesananya sih sama lo, Syid,” ucapku sambil mencubit pipinya. Rasyid kembali tersenyum padaku tanpa mempedulikan keberadaan Soni.
Bijak dan Soni mulai menjalankan motornya yang sudah ditumpangi Hani dan Anya. Sedangkan Rasyid yang membawa mobil sudah berjalan terlebih dulu dengan membawa barang bawaan di mobil bagian belakang.
“Lo masih sayang sama Soni?” tanya Rasyid tiba-tiba. “Hah? Kalau gue masih sayang sama Soni, gue gak akan nerima lo, Syid,” jawabku sambil tertawa. “Mungkin lo jadiin gue pelampiasan gitu, who knows?” katanya tenang sambil menyetir. “It’s not funny, dude. Mainan gue itu gadget, bukan cowok,” kataku serius. Rasyid hanya tertawa mendengar ucapanku.
Aku merasa liburan ini sedikit berbeda. Entah karena kami semua berbeda kelas, atau karena kehadiran seorang Soni yang membuat Rasyid menjadi tak nyaman. Ku harap tidak akan terjadi suatu masalah.
Malamnya, aku tidak mengantuk sama sekali. Akhirnya ku putuskan untuk menonton televisi di ruang tengah. Membosankan memang, tapi untuk membeli beberapa cemilan aku tidak berani keluar villa itu. Suasana sudah cukup larut dan aku tidak berani untuk keluar sendirian.
“Gracia!” seseorang menepuk pundakku dari belakang. “Hhhh, Soni! Gue kaget,” Soni tertawa melihat wajahku yang memucat. “Lo belum ngantuk?” tanyaku. Dia menggeleng, “aku pengen beli cemilan nih. Temenin yuk.” “Akhirnya! Gue juga mau beli cemilan, cuma gue takut aja keluar malem gini. Tunggu!” aku berlari ke kamar dan mengambil jaketku. “Ayo!” aku menarik tangan Soni untuk keluar.
Soni mengendarai sepeda dengan sangat hati-hati. Dia tidak bisa melihat dengan jelas di malam hari, sehingga aku membantunya dengan senter yang ku bawa. Seketika aku teringat saat aku dan Soni terjatuh dari sepeda karena dia lupa tentang penglihatannya itu. Hey, kejadian itu sudah lama. Untuk apa aku mengingatnya. Cih.
Sesampainya kami kembali ke villa dengan membawa satu bungkus penuh cemilan, aku beranjak ke kamar untuk mengambil DVD yang sengaja ku bawa dari rumah. Ku putuskan untuk menonton film kesukaanku, Harry Potter. Aku sangat menikmati malam itu. Entah karena ini memang kebiasaanku, atau karena ada Soni di sampingku. Ah, aku sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa dengannya. Ck, untuk apa?
***
Senin pagi ini aku tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah. Mungkin karena aku terlalu capek dengan semua tugas yang kukerjakan seharian di hari Minggu. Tapi mau tak mau aku harus menarik tubuhku ke kamar mandi dan ke ruang makan agar tidak terlambat ke sekolah. Lebih tepatnya agar Rasyid tidak menunggu lama.
“Tante, kita pergi dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Rasyid pada mama. Mama membalas ucapan salam Rasyid dan masuk ke dalam rumah. “Tadi malem tidur jam berapa lo?” tanya Rasyid datar. “Hm? Jam 10 kok, kenapa?” tanyaku. “Lo bohong. Ada mata panda tuh,” tangan Rasyid memegang pelipisku cukup keras. “Oke, gue bohong. Gue tidur jam 2, banyak tugas minggu ini yang harus gue kerjain,” aku tersenyum simpul. “Gue udah bilang berapa kali, jangan tidur malem! Lo mau sesak lagi?” Aku menggeleng sambil menatap sepatuku yang mulai kucel. Rasyid kemudian mencubit lengan atasku dengan keras, “itu balasan karena lo tidur malem.”
Rasyid menyuruhku untuk turun dari mobil, sementara dia mencari lahan parkir untuk mobil. Aku sengaja menunggunya di pos satpam sekolah agar tidak terlalu jauh dari tempat parkir sekolah. Tak lama, Soni datang dengan motornya. Sambil menunggu Rasyid datang, aku dan Soni berbincang tentang masa SMP dulu. Ah, menyenangkan rasanya!
“Gracia, ayo!” tiba-tiba Rasyid merangkulku dari belakang. “Simpen motor lo dan cepet ke kelas. Lo piket hari ini,” katanya dingin pada Soni. Aku dan Rasyid berjalan menuju kelas, sedangkan Soni menjalankan motornya menuju lahan parkir khusus motor. “Gue kurang suka lo deket sama dia,” kata Rasyid seketika. “Huh? Why? Lo tahu kan gue sama dia temenan sejak kelas 7?” tanyaku. “Cara dia natap lo beda, sayang. Dengar. Kalau lo milik gue, gue bakal pertahanin. Sebanyak apapun cowok yang deketin lo, atau cewek yang deketin gue,” katanya lagi sambil memegang erat tanganku.
Entah kenapa saat Rasyid berkata seperti itu, aku menjadi lebih bersemangat untuk belajar hari ini. Aku tahu kami berada di kelas-bahkan jurusan-yang berbeda. Tapi..uh, kalian pasti mengerti. Dan akibat dari kejadian pagi itu, teman sebangku, Wilma, bertanya dan menatapku heran.
***
Rasyid memukul meja Soni dengan keras. Seluruh murid kelas XII IPA 2 itu otomatis melihat ke arahnya dan Soni.
“Gue udah baca semuanya, Son! Gue gak suka lo deketin Gracia. Sadar dong, dia udah milik gue! Dan lo jangan berusaha buat Gracia berpaling ke lo,” teriak Rasyid. “Gue tahu lo temen deket Gracia dari kelas 7. Tapi tolong, sekarang dia siapa?” lanjutnya. Hani dan Putri dengan sigap mendekat dan berusaha menenangkan Rasyid. Soni hanya bisa terdiam. Antara merasa bersalah  dan memang berusaha untuk mendapatkan Gracia. “Gak bisa jawab?! Ck, loser!” Rasyid semakin menjadi-jadi.
Karena Soni masih terdiam, Rasyid akhirnya menampar Soni. Hani berusaha menarik Rasyid dan tetap saja gagal. Akhirnya Hani dan Putri menyuruh teman laki-laki di kelasnya untuk tetap melerai Rasyid dan Soni, sementara mereka lari mencari Gracia.
***
Bel istirahat kedua. Saatnya untuk pergi ke masjid untuk shalat Dzuhur. Aku dan Wilma bergegas agar mendapat tempat untuk shalat, dan bersiap untuk mengumpulkan tugas makalah Sejarah yang harus di kumpulkan jam 12.30 siang. Selesai shalat, aku yang ditugaskan oleh guru untuk mengumpulkan makalahnya, segera meminta semua pekerjaan teman kelasku.
“Gracia!!” teriak Putri dan Hani berbarengan. “Kenapa?” tanyaku heran melihat wajah mereka yang ketakutan. “Rasyid..ba..bakal berantem sama Soni kayaknya!” bisik Putri yang sadar sedang berada di depan ruang guru. “Hah?! Kenapa bisa?!” aku panik. Sangat panik. Aku segera berlari menuju kelas Rasyid, diikuti oleh Wilma, Putri, dan Hani.
“Rasyid!!!!” teriakku saat melihat Rasyid yang hampir melempar sapu ke arah Soni. “Kalian kenapa?” tanyaku pada Soni yang berada lebih dekat dariku. Soni menggeleng. “Bawa Rasyid keluar, tenangin dia,” ujar Hani. Aku mengangguk dan mengajak Rasyid untuk keluar.
“Tenang, tenang. Lo memang pernah bilang bakal pertahanin, tapi gak kayak gini caranya,” aku mulai berbicara setelah Rasyid bercerita semuanya. “Gracia sayang sama lo, Syid. Dia juga bakal lakuin apa yang lo bilang tadi pagi. Um, maaf sih gue tadi gak sengaja dengar lo ngomong gitu,” Wilma tersenyum lebar. Aku mengangguk. “Sudah, sekarang lo harus percaya sama dia kalau Soni itu cuma sahabatnya. Gak lebih. Dan untuk perasaan, itu masa lalu. Lupain,” aku hanya bisa terdiam. Aku sendiri bingung harus mengatakan apa agar perasaan Rasyid membaik.
Sepulang sekolah, Rasyid datang ke kelasku dan mengajakku pulang. Aku tersenyum tanda setuju, dia pun membalas senyumku. Mungkin perasaannya sekarang mulai membaik sejak pertengkarannya dengan Soni tadi siang. Complicated. Very complicated.
Rasyid menyuruhku untuk menunggu di pos satpam seperti biasa, sementara dia pergi untuk menemui wali kelasnya. Aku berjalan sendirian menuju pos, karena Putri, Hani, dan lainnya sudah pulang lebih awal. Di otakku masih tersimpan kejadian pertengkaran tadi siang. Antara dua orang yang ku sayang.
“Gracia, aku mau bicara,” Soni mengajakku untuk sedikit menjauh dari keramaian, namun dapat terlihat juga oleh siapapun yang melewatinya. “Kenapa?” tanyaku datar. Entah kenapa suaraku jadi seperti ini. “Aku inget pertama kali kita ngobrol gimana dan kapan. Aku inget semuanya, karena saat itu juga aku tertarik sama kamu. Kamu tahu? Aku nyesel, kenapa aku lebih milih SMA 30 dibanding SMA 12 impian kita dulu. Satu tahun aku disana, aku kira bakal berhasil lupa sama kamu. Ternyata nggak. Aku ingin kita bisa bareng-bareng lagi, makanya aku pindah kesini. Sekolah impian kita dulu. Dan kamu tahu? Aku ngelakuin ini semua karena aku sayang sama kamu, dan gak rela jauh dari kamu,” katanya.
DEG. Aku tidak pernah menyangka. Aku dan dia punya perasaan yang sama sejak dulu. “Tapi, kenapa lo baru bilang? Gue juga dulu sayang sama lo, Son,” ujarku. “Aku takut. Jadi?” tanyanya meminta kepastian. “Hhhh, itu dulu, Son. Semua yang lo lakuin itu gue hargain. Tapi semuanya terlambat, Son. Lo udah bikin gue kecewa karena lo lebih milih sekolah lain hanya karena lo bosan sama daerah sini, sedangkan lo ternyata bisa masuk lewat prestasi lo itu. Ini impian kita, ini usaha kita bareng. Hasilnya? Semuanya benar-benar terlambat. Udah ada Rasyid yang lebih gue sayang. Maaf,” aku tersenyum pada Soni. “Um, ya aku tahu ini terlambat. Setidaknya aku lega kamu tahu perasaan aku. Tuh, Rasyid udah siap nganter kamu pulang. Hati-hati,” katanya sambil tersenyum. Aku hanya berlari tanpa membalas senyuman terakhir dari Soni.
***

Aku memang tidak pernah menyangka kalau dulu kita punya perasaan yang sama. Tapi saat kau jujur, semuanya terlambat. Aku sudah terlanjur kecewa padamu, dan sudah ada orang lain yang mengisi kekosongan hati saat kau pergi tanpa jejak. Aku tahu ini menyakitkan. Namun, apa kita bisa memutar waktu dan mengubah semuanya?

No comments:

Post a Comment

Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.