Navita Angelina nama lengkapnya. Dia
terlahir dengan mata kiri yang tidak normal. Ya, dia tidak bisa melihat dengan
mata kirinya karena suatu tragedi yang membuat dirinya membenci lelaki
itu-lelaki tidak bertanggung jawab yang membuat Navita juga membenci keadaan
fisiknya sekarang.
Navita memandang dirinya sendiri lewat
cermin besar yang berada tepat didepan tempat tidurnya. Kemudian tangan
kanannya bergerak menuju mata kirinya yang indah-tapi buta. Pikir
Navita. Dia melempar boneka besar ke cermin itu. Ingin sekali dia memecahkan
cermin itu agar dia tidak melihat mata kirinya-buta. Tidak
bisa melihat. Pikir
Navita lagi. Air matanya mulai terjatuh dari mata kanannya yang terlihat lebih
sempurna.
"Navita sayang, ayo makan roti
bakarnya. Ibu sudah siapkan roti bakar kesukaanmu, roti bakar selai
rasberry!" Ibu Ninda-orang terdekat Navita di rumah-membujuk Navita untuk
segera menghabiskan sarapannya. "Bu, Navi udah 17 tahun! Gak perlu
disuruh-suruh sarapan! Navi gak mau makan! Navi mau langsung sekolah!"
Navita segera mengambil tasnya lalu berlari menuju mobil mini-bus yang sudah
menunggunya di depan 'ístana'-nya.
***
"Navita!!!!" keempat sahabatnya
langsung memeluk Navita ketika dirinya tiba di kelas. "Hai fans, kangen sama
Navi?" Canda Navita-yang sebenarnya untuk menghibur dirinya
sendiri-"Iya, Dinan kangen Navi!" Dinan, sahabat Navita yang termuda,
memeluk Navita dengan manja. "Biarkan Navita duduk dulu. Baru dateng udah
bikin orang bengek aja!" Syarah menarik lengan Navita. Mereka
tertawa dan berjalan mengikuti Syarah dan Navita.
***
Navita
mempunyai empat sahabat yang menemaninya sejak duduk di kelas X. Mereka adalah
Syarah, Mina, Dinan, dan Lidia. Mereka dikenal sebagai geng yang paling sopan,
baik, dan ramah di sekolahnya. Tapi Navita dan sahabatnya lebih suka dianggap
sebagai kelompok belajar, bukan geng. Karena menurut mereka, ‘geng’ itu lebih
mengarah ke sisi negatif. Syarah dan Lidia adalah dua gadis cantik berkerudung.
Meskipun sama-sama berkerudung, tapi Syarah dan Lidia berbeda. Syarah lebih
terkesan cuek dan tomboy dibandingkan Lidia. Mina, gadis berambut kecoklatan,
terkesan lebih seperti bule ini teman lama Navita yang dipertemukan kembali di
SMA. Dinan, gadis termuda di kelompok-belajar Navita memiliki rambut hitam
bergelombang. Dia memang sering dianggap anak kecil karena wajah, sifat, dan
umurnya.
Meskipun
mereka bersahabat, tapi tidak ada yang tahu satupun tentang mata kiri dari
Navita. Dia memang sengaja menyembunyikannya karena dia tidak mau kehilangan
semua sahabat baiknya. Maka dari itu, Navita sengaja memakai kacamata untuk
menutupi kekurangan fisiknya itu.
***
Bel
pulang berbunyi. Tapi Navita sangat tidak mau berada di rumah sore ini. Terlalu
membosankan katanya. Dia memutuskan untuk pergi ke café yang biasa ia kunjungi
sendirian. “Pak, ke café yang biasa ya,” kata Navita membuka kacamatanya. “Tapi
neng Navi, neng harus pulang sekarang. Itu perintah Dadnya neng Navi,” balas
pak Sino, supir pribadinya. “Navi gak punya Dad! Navi cuma punya Papa Richard!
Ngapain sih pak Sino masih aja nurutin si Ninonano itu!” Navita cemberut. “Neng
Navi tidak boleh begitu. Dad Nino kan yang-hm, baiklah neng. Nanti Bapak bilang
ke Papanya neng saja,” Pak Sino mulai menjalankan mobilnya setelah melihat
wajah Navita yang cemberut.
Setibanya
di café, Navita menyuruh Pak Sino untuk menjemput Papa. “Biarin Navi diem
disini dulu ya, Pak. Biar Bapak jemput Papa dulu. Nanti Navi telepon kalau Navi
mau pulang,” Navita berjalan cepat menjauhi mobilnya. Pak Sino mengangguk dan
langsung menuju kantor Papa Richard.
Navita
menutup pintu café lalu mengambil nafas dan menghembuskannya. Wangi makanan dan
minuman yang menggoyangkan perut Navita. Dia langsung mencari tempat duduk yang
biasa ia tempati. Kebetulan sekali meja itu tidak ada yang menempati. Navita
berlari mendekati meja itu, tapi-bruk! Dia tak sengaja menabrak seorang lelaki
memakai baju kemeja kotak dengan celana jeans. Penampilan lelaki itu tidak
terlalu rapi tapi sopan. Navita kaget. Secara tak sengaja dia langsung
teringat-Dad Nino. Navita menundukkan
kepalanya.
“Hm,
I’m sorry! Gue gak sengaja. Lo mau duduk disini?” tanya lelaki itu. Navita
hanya mengangguk. Dia hanya takut tragedi yang menimpa Mama terulang lagi.
“Hello, I’m talking to you! Jangan takut. Gue gak akan ngapa-ngapain. Lo aman
sama gue!” kata lelaki itu lagi sambil melambaikan tangannya tepat di depan
muka Navita. “Okay, no problem. Hm, iya, meja ini yang paling pewe. Jadi, Navi
gak pernah pindah ke meja lain,” Navita mulai mengangkat kepalanya. “Jadi, nama
lo Navi? Gue Sandi,” dia mengulurkan tangannya. “Navita, panggil aja Navi,”
senyum mulai menghiasi wajah Navita. “Kita duduk bareng aja disini. Navi dengan
senang hati kok hehe,” Sandi mengangguk dan duduk dimeja itu berbarengan dengan
Navita.
“Pesen
apa?” tanya Sandi sambil melihat buku menu. “Hm, Navi mau pesen Espresso sama
Tiramicheese Bread, Sandi?” Navita mengalihkan pandangannya tepat ke arah mata
Sandi. “Lo suka kopi? Duh, gue gak suka banget. Mending teh tahu!” Sandi
mengkerutkan keningnya. “Loh, justru Navi gak suka teh, suka bikin mual,”
Navita dan Sandi tertawa bersamaan. “Mbak, Espresso satu, Tiramicheese Bread
satu, Green Tea satu, Green-cheese-cake satu. Makasih,” Sandi memberikan buku
menunya pada waitress.
***
Sejak Navita
bertemu dengan Sandi, dia merasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Ya, hanya
Sandi lah yang mengetahui tentang mata kirinya. Kemarin secara tidak sengaja
Navita bergaya sambil menutup mata kanannya.
Bodoh. Cukup bodoh. Pikir Navita. Tapi dia juga harus mulai bercerita
tentang seorang Navita yang sebenarnya.
“Navita!!!!”
seperti biasa, sahabatnya menyambut Navita dengan bahagia. “Eits, tunggu! Lidia
mana?” Navita melepas pelukan ketiga sahabatnya. “Gak tahu nih, Dinan SMS sama
Lidia gak dibales,” kata Dinan sambil mengutak-ngatik kembali iPhonenya. “Tumben banget dia belum
dateng jam segini. Coba tunggu sampai bel masuk, kalau gak dateng juga, nanti
kita telepon. Kalau gak ngangkat, kita ke rumahnya pulang sekolah nanti,” kata
Syarah. Navita dan yang lain mengangguk setuju dengan wajah cemas.
Tiba
saatnya pelajaran ketiga. Tidak ada kabar apapun dari Lidia. Tak ada guru piket
yang masuk dan memberikan kabar tentang Lidia. Mereka-Navita, Dinan, Syarah,
dan Mina-sangat khawatir. Saking khawatirnya, Navita sampai tidak bisa
berkonsentrasi saat pelajaran. Tak ada satupun materi yang masuk ke dalam
otaknya.
“Navi,
coba telepon Lidia!” Mina berlari ke meja Navita dengan mata berkaca-kaca.
Navita mengangguk lalu mengeluarkan blackberry
Torchnya dan mencari kontak Lidia.
Nomor
yang anda tuju tidak bisa dihubungi atau berada diluar jangkauan
“Sial!”
Mina memukul meja hingga telapak tangannya merah. “Okay, kita ke rumah Lidia
pulang sekolah nanti! Pakai mobil Dinan saja ya! Kalau mau dijemput, kalian
minta jemput di rumah Lidia saja!” Navita memeluk Dinan yang sudah menangis.
***
“Assalamu’alaikum,
Lidia?” Syarah mengetuk rumah Lidia. Tidak ada yang menjawab. Dinan mengetuk
pintu rumah Lidia lebih keras. Tak lama, ada seorang wanita tua yang membukakan
pintunya. “Hm, permisi, Bu. Lidianya ada?” tanya Navita dengan santai. “Lidia?
Siapa?” tanya wanita tua itu. “Gadis berkerudung yang tinggal di rumah ini,
Bu,” jawab Syarah. Navita, Dinan, dan Mina mengangguk. “Oh, itu. Ibu kurang
tahu, ibu hanya pembantu disini. Orang tua neng Lidia cuma nitip rumah aja,”
jawab wanita tua itu yang ternyata pembantunya. “Kira-kira Lidia kapan pulang?”
tanya Dinan. “Sudah Ibu bilang, Ibu tidak tahu!!” wanita tua itu berteriak
tepat dimuka Dinan dan menutup pintu dengan sangat kencang.
Dinan
langsung mengeluarkan air matanya tanpa terdengar suara apapun. Navita yang
menyadari Dinan menangis merasa kesal. Lalu dia memukul pintu rumah Lidia
dengan sangat kencang dan berteriak, “Bu, tolong bersikap lebih sopan!! Ibu
disini hanya pembantu!! Sedangkan kami itu tamu!! Tolong hormati sedikit!!”
Mina menahan lengan Navita yang akan mendarat di pintu untuk ke sekian kalinya.
Syarah menarik Navita keluar rumah dan menyuruh Mina untuk mendekap Dinan yang
terisak dan membawanya ke mobil.
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.