Mama Gita setelah menikah dengan Papa Richard. “Mama nganter Donita ke sekolah, ada acara katanya. Sudah, kamu makan sama Papa aja yuk!” Papa Richard mempersilakan Navita duduk. Walaupun anak tirinya, Papa Richard sudah menganggapnya seperti anak kandung. Bahkan terkadang ia lupa kalau dirinya mempunyai seorang anak tiri.
“Oh
iya, Navi mau gak ditinggal Papa Richard dulu
selama seminggu? Papa mau ke Singapura, ada tugas disana,” Navita mulai
melahap roti bakarnya. “Hm, kapan Pap? Jangan lama-lama, Navita bakal kangen
Pap Rich! Terus nanti siapa yang jagain Mama kalau Navi sama Donita belum
pulang sekolah?” tanya Navita. “Senin saying. Uh, Papa juga pasti kangen Navi
sama Donita! Cuma seminggu aja, tenang! Hm, sama Dad Nino gak apa-apa, kan?”
tanya Papa Richard dengan hati-hati. “Engga, Pap! Navi gak mau Mam Gita sama si
Ninonano itu ketemu lagi!!” Navita meninggikan suaranya. “Dad Nino, Navita
sayang! Tapi Pap Rich udah janji sama Dad Nino, kalau butuh apa-apa harus ke
Dad Nino. Nah, ini saatnya,” Papa Richard mulai merangkul Navita. “Ngga, Pap!
Navi gak mau manggil ‘Dad’! Dia udah jahat sama Mam Gita!” mata Navita mulai
berkaca-kaca. “Tapi-” Papa Richard tidak tahu harus berkata apa lagi. “Okay,
kalau itu mau Pap Rich, Om Nino boleh kesini selama Pap Rich di Singapura. Tapi
Mama harus ikut ke Singapura! Navi gak mau Mama kecewa lagi, Pap!” Navita mulai
menangis.
Papa
Richard akhirnya menuruti apa kata Navita. Dia membiarkan Mama Gita ikut ke
Singapura agar tidak bertemu Nino-lelaki yang membuat Navita buta sebelah, yang
menghancurkan Mama Gita-Papa Richard mengerti, Navita trauma. Tapi khawatir
akan terjadi sesuatu pada Navita nanti. Papa Richard sudah menyuruh adik
perempuan Papa Richard untuk menggantikan peran Mama Gita sementara.
***
Jenuh
memang duduk sendirian di perpustakaan jalan. Disitulah Navita sekarang. Dengan
memakai celana jeans hitam dan baju biru. Sendirian. Hanya ada
tumpukan-tumpukan buku dan orang-orang yang tidak ia kenali.
Aku
jenuh. Aku bosan terus seperti ini. Dan akankah terus seperti ini? Aku
rasa..iya. Aku tidak yakin bisa mengubahnya. Mataku-buta.
Suasana
langit mendung. Ia memutuskan untuk masuk ke mobil. Benar saja, tak lama
kemudian hujan turun. “Pak, ke café biasa ya!” Navita mulai memakai jaketnya
karena udara mulai dingin. Dia juga mengganti ikatan rambutnya dengan bandana
berwarna ungu tua. Rambut hitam dan lurus terurai rapi hingga punggung atas.
Kemudian dia memainkan handphonenya
lagi.
Setibanya
di café, masih saja hujan deras. “Pak, ayo masuk ke dalam bareng Navi. Disana
ada kopi, ada makanan juga. Nanti Navi yang bayar deh. Yuk,” Navita mengedipkan
mata kanannya. Pak Sino mengangguk setuju. Beliau mematikan mesin mobil dan
membuka payung miliknya pribadi. Navita yang sudah keluar terlebih dulu
menunggu Pak Sino di depan pintu café.
“Pak,
duduk disitu aja ya. Navi lagi pengen sendiri,” katanya tersenyum. “Siap, neng.
Nanti kalau mau pulang dateng aja ke bapak ya,” Navita mengedipkan mata
kanannya-lagi. Navita berjalan ke tempat biasa dia duduk di café bersama
Sandi. Dan hari ini, dia akan bertemu
dengan Sandi lagi untuk meluapkan segala isi hatinya saat ini.
“Hello,
Navita! Wew, you look so good today! I like your bandana,” Sandi menyimpan
tasnya lalu mengeluarkan laptop. “Thank you, Sandi. Hm, I think your style is
better if you wear a jacket maybe,” Navita meminum kopi kesukaannya, Espresso.
“Hm, thank you for your opinion, Navita. Oh ya, lo udah diajarin tentang ini?” tanya Sandi sambil memperlihatkan soal
kimia pada Navita. “Udah, kenapa? Sandi gak ngerti?” Sandi mengangguk. “Ini sih gampang, San! Nih ya…”
navita mulai mengerjakan soalnya dan
menjelaskannya pada Sandi. Mereka tampak sangat akrab.
-Sandi’s
P.O.V-
Navita
sangat cantik ketika rambutnya dibiarkan terurai. Navita berbeda dengan gadis
umur 17 tahun lainnya. Cara bicara yang masih kekanak-kanakan tapi pikirannya
sudah dewasa. Sandi sebenarnya kasihan dengan keadaan Navita. Dia ada didunia
ini secara tidak sengaja akibat seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab,
yang telah merusak segalanya bagi Mama
Navita. Sandi tahu, Navita trauma sejak kejadian itu. Dia ingin menjaga Navita
dari laki-laki siapapun yang berniat untuk menurunkan harga dirinya dan
mengulang kejadian yang menimpa Mama Navita dulu.
-Sandi’s
P.O.V end-
“Terus
kenapa bisa hasilnya segini? Gue itung gak segitu tuh!” Sandi menyeruput
secangkir teh lagi untuk menenangkan pikirannya. “Sandi, tadi kan udah Navi
jelasin! Masa gak ngerti juga?” Navita memukul Sandi dengan pulpen yang berada
ditangannya. “Tunggu, minjem catetan lo, deh! Oh iya, gue ngerti! Thanks
Navita!” Sandi dengan cepat menulis ulang tulisan Navita.
“Oh
iya, lo mau cerita apa?” tanya Sandi setelah selesai menulis tugasnya. Navita
menceritakan kejadian hari Senin, saat Lidia tidak masuk. Air mata Navita mulai jatuh-lagi.
“Navi gak boleh nangis! Nanti mata kiri lo sakit lagi!” Sandi mengusap pipi
kanan Navita.
“Ya sudah,
sekarang lo tinggal berdoa aja supaya Lidia gak kenapa-napa. Jangan negative
thinking dulu,” Navita tersenyum. “Eh iya, udah sore tuh. Hujannya udah reda.
Pulang sana, nanti lo capek. Obatin juga tuh mata lo, pasti perih lagi kan?”
tanya Sandi. “Okay, Sandi. Navi udah ngerasa lebih baik sekarang. Sandi gak
pulang?” tanya Navita. “Iya, gue pulang kok! Yuk, keluar bareng!” Sandi
merangkul Navita dengan hati-hati. Ternyata, Navita merasa cukup nyaman ketika
dirangkul Sandi.
***
Senin
pagi! Jam beker Navita berbunyi cukup keras. Navita bangkit dari tempat
tidurnya walaupun cukup malas. Dia melangkahkan kaki keluar kamar untuk shalat
Shubuh dan mandi. Navita juga datang ke kamar Donita untuk membangunkan adiknya
yang masih tertidur lelap.
Setelah selesai mandi dan berdandan rapi, Navita
turun ke ruang makan untuk sarapan. “Ibu Ninda, sudah masak a-” Navita kaget.
Om Nino sudah duduk manis dan siap menyambut Navita dan Donita. “Ibu Ninda, Pap
Rich dan Mam Gita kemana?” tanya Navita yang tidak peduli dengan keberadaan Om
Nino. “Mereka sudah berangkat tadi pagi, sayang. Oh iya, Mam Gita titip pesan
nanti siang sepulang sekolah jangan lupa untuk menjemput adik Pap Richard,”
ujar Bu Ninda. Navita menganggukan kepalanya diikuti Donita. “Bu, rotinya Navi
makan di mobil aja. Lagi gak ada nafsu makan nih. Sekalian Donita juga ya,”
Navita berteriak.
“Okay,
makasih Bu Ninda! Navi sama Donita pergi dulu ya. Jaga rumah baik-baik.
Hati-hati juga di rumah ya, Bu. Takut
ibu dirusak, hiii!” Navita melirik ke arah Om Nino dengan ketus.
Tidak terlihat muka bersalah satu garis
kerut pun! geram Navita.
***
“Navita
kenapa murung? Tumben banget,” sapa Dinan. “Gak apa-apa, Dinan. Siapa yang
murung?” Navita memaksakan dirinya untuk tertawa. Dia tidak pernah menceritakan
apapun tentang Mam Gita dan Om Nino kepada sahabatnya. Navita duduk di bangku
kedua dari depan setelah Dinan dan Syarah. “Navi, kenapa sih? Sakit?” tanya
Mina sambil memegang kening Navita. “Navi cuma kangen sama Pap Richard sama Mam
Gita kok,” senyum Navita kali ini meyakinkan ketiga sahabatnya. “Orang tua Navi
kenapa?” mata Dinan melebar-tidak melotot, karena Dinan mempunyai mata yang
kecil-sambil menutup buku bahasa Inggris yang baru saja dia baca. “Pap
Richard sama Mam Gita pergi ke
Singapura, mereka dapet tugas disana untuk seminggu ini,” jawab Navita. Ketiga
sahabatnya lalu memeluk Navita dengan erat sebelum bel masuk berbunyi.
“Navita!
Nilai ulangan kimia berapa?” tanya Reina sambil menutup kertas ulangannya.
Navita memberikan kertas miliknya pada Reina. “100?! Hebat!!!” Reina berteriak
cukup kencang sehingga terdengar satu kelas. Seluruh temannya bersorak, Navita
tersenyum. Mungkin ini yang bisa menghibur dirinya selagi dia tidak bersama
orang tuanya dan Sandi.
“Navi,
bisa kali ajarin gue kimia! Gue remedial nih,” kata Agni-teman lawan jenis
Navita. “Asik Agni! Tembak! Tembak!” Navita merasa risih dengan sorakan dari
teman Agni. “Apa sih maksud kalian? Agni gak suka sama Navi! Navi juga gak
suka sama Agni,” Navita berlari menjauh
dari Agni dan teman-temannya. Agni terlihat kecewa dengan perkataan Navita
tadi. Apa ada yang salah? Tanya
Navita dalam hati. Dia segera berlari menuju kantin untuk membeli kopi. Siapa
tahu dengan meminum kopi dapat menenangkan perasaannya tidak karuan.
“Bu,
Cappucino Ice satu ya,” Navita langsung mencari tempat duduk yang kosong.
Setelah itu dia mulai menulis di buku harian yang diberi Pap Richard dari
Paris.
Seandainya
ada Sandi disini. Mungkin Navi udah nangis, meluapkan semua perasaan Navi yang
gak karuan.
“Ini
neng Navita, Cappucino Icenya,” Ibu penjaga kantin favoritnya menghampiri
Navita yang sedang melamun sambil membolak-balikkan buku hariannya. “Okay,
makasih, Bu. Navi bayar sekarang aja ya,” Navita memberikan satu lembar uang Rp
10.000 pada Ibu penjaga kantin itu. “Ini neng kembaliannya, makasih ya,” Navita
mengangguk dan tersenyum lalu memandang buku hariannya lagi.
“Navi,
ke rumah Dinan yuk!” Dinan menarik tangan Navita yang sedang berjalan pelan ke
luar kelas. Navita menggeleng, “maaf Dinan, bukannya Navi gak mau. Navi harus
jemput Donita dulu. Habis itu harus les pula. Maag banget, Dinan,” Navita
memeluk Dinan dengan halus. “Yah, padahal Dinan mau ngasih oleh-oleh yang
pastinya Navi suka loh! Tapi, no prob, deh! Nanti malem Dinan ke rumah Navi ya
buat ngasih barangnya. Hati-hati, Navi!” Dinan melambai tangannya lalu
menghampiri Syarah dan Mina yang sudah menunggunya di mobil.
Maaf Navi harus bohong ke kalian semua.
Navi gak mau kehilangan kalian gara-gara mata kiri Navi. Navi gak mau
kehilangan kalian karena asal-usul Navi.
Navita
membuka pintu mobilnya dan tersenyum manis pada Pak Sino. Kemudian Pak Sino
melajukan mobilnya menuju café tempat ia jatuh cinta pada kopi dan bertemu
Sandi-sang pecinta teh.
“Hai,
Navita! Tumben kita dateng barengan, hahaha. Masuk yuk,” Sandi membukakan pintu
dan merangkul Navita. “Oh iya, San! Tadi
Navi dapet 100 loh kimia!” ujar Navita memulai pembicaraan. “Uh, really?!
Congrats, Navi! Lagian lo tuh otaknya kebanyakan kopi atau gimana sih, kimia
jago banget lo!” Sandi mengacak-ngacak rambut Navita yang tidak berponi itu. “Sandi juga, otaknya teh semua kali ya, biologinya jago banget! Ah, Navi
pengen cerita lagi,” Navi mulai menceritakan kejadian di kelasnya tadi.
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.