4/2/13

Laquisha dan Piano

Penonton berdiri disertai tepuk tangan setelah jari-jariku menari diatas tuts piano. Aku melihat --- tepat di depan panggung tempatku berdiri --- seorang wanita paruh baya dengan gaya kerudungnya yang khas, ya ibuku. Aku melihat mata Ibu yang bersinar, bangga karena aku bisa berdiri di atas sini.

Ibuku sangat senang ketika aku menjadi seorang pemain instrumen piano terkenal. Tapi, untuk mendapatkan semua ini tidak mudah. Masa kecilku terlalu suram.

***


Aku sangat bersyukur mempunyai kedua kakak, Leo dan Aeldra. Mereka dengan senang hati mengajarkan apa yang mereka bisa kepadaku. Leo Korrigan, kakak laki-laki pertama dan satu-satunya yang aku punya. Dia sangat mencintai musik, terutama piano. Hasilnya? Dia menjadi komposer dan pemain instrumen piano terkenal di dunia.

Aeldra Korrigan, kakak perempuan dan anak kedua di keluargaku. Berbeda dengan Leo, Aeldra menyukai biola. Kemana dan bersama siapapun dia pergi, Aeldra selalu membawa biola pemberian Ayah dan Ibu di hari ulang tahunnya yang ke 12.

Pagi ini, Aeldra berjanji akan mengajariku biola di tempat favoritnya --- loteng di rumahku.

"Laquisha, coba pegang ini. Follow me!" Aeldra mulai memainkan biolanya perlahan dan aku mengikutinya. "Argh, I can't!" ucapku menyerah. Tapi Aeldra tidak menyerah untuk mengajarkanku biola.

Ngek...

Terdengar suara pintu loteng terbuka. "Ms.Korrigans! Hampir dua jam kalian berlatih biola. Lebih baik kalian makan dulu," Leo menghampiri aku dan Aeldra. "Uh, come on, Leo! I wanna be a violinist like her!" rengekku. "Laquisha, my little Korrigans! Listen to me. If you want to be like her, practice is important. But, we have another things more important. Come on!" Leo membawaku ke pangkuannya dan berlari ke meja makan, diikuti Aeldra.

"Bagaimana, Laquisha? Kau menyukai biola?" tanya Ayah saat makan siang dimulai. "Great! Tapi aku tidak bisa memindahkan jari-jariku. Sangat menjengkelkan!" semua orang tertawa seketika. "Hahaha, coba kau berlatih piano. Mungkin kau akan menyukainya," sambung Leo. Ayah, Ibu, dan Aeldra mengangguk setuju. "Um, okay. I'll try," jawabku setelah melahap makanan.

--

Hari ini Ayah mengajakku pergi ke festival musik. Aku sangat senang! Semenjak kejadian makan malam tahun lalu, aku memang sudah menyukai piano. Dan sejak kejadian itu pula aku lebih sering mengikuti Leo untuk Leo's Music Tour World-nya.

"Ayah, ayolah. Aku sudah tidak sabar sampai di festival itu," ujarku merengek. "Iya sayang, sebentar lagi sampai," balas Ibu tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.

Sebenarnya ini merupakan salah satu impianku, melihat festival musik internasional milik Leo. Classical Music and Art by Korrigan namanya. Dirinya mendapat ide menggunakan nama keluarga sebagai nama festival miliknya karena Korrigan's family sangat menyukai musik.

Detik-detik menjelang festival dimulai, kakakku dengan gagahnya berjalan mendekati pianonya. Semua orang bertepuk tangan, dan kakakku memberi sambutan. "Good night, everybody. I'm Leo Korrigan. Tonight, I'll give my best song I've ever wrote. And you all never heard before. Um, I'm very very -- what's that?!" Leo menengokkan kepalanya ke atas. "WATCH OUT, LEO!" beberapa kru berteriak dari belakang panggung.

BRAK!

Mereka terlambat. Leo tertimpa lampu-lampu latar yang tadinya akan menjadi penghias malam yang tenang. Ayah langsung berlari ke arah panggung --- dengan aku yang masih berada dipangkuannya --- tergesa-gesa. Aku tidak bisa berkata-kata ketika melihat Leo terbaring pucat dengan lampu yang menutupi seluruh badannya dan kepala yang dilumuri darah.

Para wartawan berebut mendatangi panggung untuk melihat keadaan Leo. Keadaan begitu sesak. Kepalaku terasa amat pusing. Aku tidak suka suasana seperti ini. "Ibu, Ayah, Aledra. Dimana kali-an?" Aku berusaha bangkit dan keluar dari kerumunan itu. Karena sudah terlalu lemas, aku terjatuh.

"DILARANG ADA YANG MELIPUT! PERGI KALIAN SEMUA!" Itulah kata-kata yang ku dengar terakhir dari mulut Ayah sebelum aku jatuh pingsan.

--

Aku terbangun. Aku sudah berbaring di sofa rumah sakit. Hanya Aeldra yang sedang berada di sampingku saat ini.

"Laquisha, are you alright!?" Aeldra segera memelukku. Ku balas dengan anggukan kepala karena belum sanggup berbicara. "I think you should stay here until your body feel better," Aeldra kemudian menyimpan kepalaku di pundaknya.

"A-el-eldra..I-I m-miss Leo," aku mulai mempunyai tenaga untuk berbicara. "Kau ingin menemuinya sekarang?" Tanya Aeldra diikuti anggukan kepalaku.

Aku dan Aeldra berjalan menuju kamar dimana Leo dirawat. Oh, Tuhan. Aku semakin tidak sanggup berdiri. Sudah sekuat apapun aku menahan badanku, aku tetap terjatuh. Aeldra segera mengangkat tubuhku dan membawanya pulang.

--

Aku jadi lebih sering melamun di depan piano kesayangan Leo dibandingkan harus melihatnya langsung di rumah sakit. Memang aku merindukannya, tapi aku rasa itu akan menyiksaku jika aku datang melihatnya.

Aku memijit tuts piano dan mulai memainkan satu lagu. Lagu yang terakhir Leo ajarkan kepadaku. Lagu yang menjadi favoritku selama Leo mengajarkan piano kepadaku. Mataku terpejam menikmati alunan musik yang diciptakan oleh jari-jariku. Terbayang-bayang sesosok Leo Korrigan. Seorang kakak laki-laki yang selalu menciptakan ketenangan dalam hidupku selama hampir 15 tahun ini.

Suara bel pintu membuyarkan lamunanku. Aku menghentikan permainan pianoku dan berjalan lemah ke arah pintu.

"Who's that?" tanyaku malas. "I'm your sister, Aeldra Korrigan. Can I--" aku segera membukakan pintu untuk Aeldra. "Kau harus ikut aku, sekarang!" Aeldra menarik tanganku yang lemah dengan kuat. "Aw, Aeldra! Keep calm! Tell me what happened?!" Aku berusaha kuat melepaskan genggaman tangan Aledra. "I'll tell you later. Follow me now!" Aku menuruti perintah Aeldra untuk tetap mengikutinya.

Di perjalanan, Aeldra tidak juga memberitahu apa yang telah terjadi. Aku merebut kemudi mobil sambil berteriak, "AELDRA KORRIGAN, THE SECOND GENERATION OF KORRIGAN'S FAMILY! TELL ME WHAT HAPPENED!?" Wajah Aeldra memucat sambil menguasai mobil kembali. "Laquisha Korrigan, the third generation of Korrigan's. I want to tell you something. Leo...sejak 2 hari yang lalu koma. Dan tadi sudah sedikit siuman. Tapi dia terus menerus memanggil namaku dan namamu. Jadi, kuputuskan untuk membawamu ke rumah sakit," jelas Aeldra dengan wajah pucatnya.

Wajahku ikut memucat. Terbayang-bayang kembali sesosok kakak laki-laki yang selalu menemani dan melindungiku dan Aeldra.

"Ibu, Ayah! What happened with Leo!?" Ayah segera memelukku. "Masuk. Kakakmu ingin bertemu denganmu," aku tersenyum pada Ibu dan Ayah lalu memasukki ruangan yang penuh dengan selang.

"Leo, I miss you. It's me, your little Korrigans, Laquisha," bisikku. Mata Leo yang tadinya terpejam, kini bergerak sedikit demi sedikit lalu terbuka perlahan. Air mataku terjatuh. Aku tidak sanggup. Aku ingin keluar. Teriakku dalam hati.

"Aeldra Korrigan. You're the best violinist I've ever knew. And I never see a girl dating with her violin romanticly," Aeldra tertawa sambil mulai meneteskan air matanya. "And you, my little Korrigans, Laquisha Korrigan. You're the best pianist girl. I'm sure, you'll be the best pianist in the world. Believe in me, believe in yourself. Do more practice and Insya Allah, your dream will come true. I love you, Korrigans girl!" suara lemah Leo yang membuatku lemah. Tapi aku tidak boleh jatuh pingsan lagi. Tidak.

_/\/\__/\_/\/\/\/\/\_/\__/\____________________

APA?! Aku segera berlari keluar untuk memanggil perawat dan orang tuaku. Mataku sudah tidak kuat menahan air mata.

Seorang dokter berlari diikuti oleh kedua perawatnya. Aku dan Aeldra diminta untuk keluar kamar. Aku segera memeluk Ibu dan menangis tersedu-sedu. Ayah memandang ke arah taman khawatir. Aeldra memelukku sekuat dia bisa. Tapi tetap saja, aku terlalu lemah untuk semua ini. Aku jatuh dan tak mampu untuk berdiri.

"Mr. and Mrs.Korrigan!" panggil salah seorang perawat. "Kami telah berusaha, tapi otaknya sudah terlalu lemah untuk bertahan. Banyak sel-sel yang rusak dan otak kanannya sedikit tertekan akibat benturan dari lampu tersebut. Maafkan kami, Korrigans," perawat itu tersenyum lalu kembali ke kamar untuk mengurus Leo.

"Bring me home, Aeldra. NOW!" Aeldra yang kasihan melihatku langsung membantuku berjalan ke arah mobil.

--

Seminggu setelah pemakaman Leo, aku masih tetap melamun, memejamkan mata, dan kemudian bermain diatas angan-angan bersama piano kesayangan Leo. Ibu dan Aeldra sudah berusaha untuk menghiburku, tetapi tidak bisa. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau Leo sudah tidak ada.

"Morning, Korrigans!" Sapa Ayah yang baru datang dari luar kota. "Morning, too," jawabku tersenyum kecil. "Laquisha, Ayah pikir kau harus berhenti menjadi pianist," ujar Ayah dengan tampang polos --- menurutku. Aku meletakkan pisau dan garpu dengan keras. "NO! I WON'T!" teriakku. Mata Ayah membesar. "Kau harus ikut apa kata Ayah!" Ayah membalas teriakkanku lebih keras. "BUT...Why!?" tanyaku untuk menanyakan alasan yang jelas. "Kau tidak lihat kakakmu, Leo?! Dia pergi meninggalkan kita hanya karena piano!"

DEG.....

Aku terdiam lemah untuk kesekian kalinya. "I wanna sleep, again. Nobody can disturb me!" Aku berlari menuju kamarku. Tiba-tiba suasana rumah menjadi hening. Air mataku mulai membasahi pipiku.

Tok.. Tok..

"Laquisha.." suara Ibu berusaha untuk menenangkanku. "LEAVE ME ALONE!" teriakku yang membuat air mataku semakin terjatuh. Aku tidak mau berhenti menjadi pianist. Ini salah satu impian Leo yang belum terwujud. Melihatku berada di atas panggung bersamanya, atau karenanya.

Aku berniat untuk mewujudkan mimpi Leo. Aku akan berada di atas panggung untuknya.

--

"Aeldra, aku ingin mewujudkan impian Leo yang belum tercapai," Aeldra berhenti menulis sample untuk skripsinya. "Hah? What's that?" tanya Aeldra. "Dia ingin melihatku bermain piano di atas panggung," jawabku.

Suasana menjadi hening seketika. "But, Laquisha. Mr.Korrigan didn't give you an excuse," Aeldra memecahkan keheningan. "Yeah, I know. What should I do?" Air mataku mulai terjatuh lagi. "Don't let your tears down! Matamu sudah cukup bengkak. Um, I have no idea," Aeldra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Nah! Aku akan berlatih sendirian, tanpa Ayah tahu!" bisikku. "No, no, no!" Aku berlari keluar kamar Aeldra tanpa mempedulikan apa yang dikatakannya.

Selama Ayah masih di kantor, sepulang sekolah aku dengan mobil peninggalan Leo mengunjungi studio tempat Leo berkarir dulu. Aku tidak peduli dengan Ibuku yang mengomel menyuruhku pulang. Aku ingin mewujudkan impian Leo. I repeat, aku ingin mewujudkan impian Leo. Ucapku dalam hati.

Sesampainya disana, kru-kru yang dulu membantu Leo menyapaku dengan ramah. "Good evening, Ms.Korrigan," sapa Mr. Johan ketika aku masuk ke ruangannya. Aku membalasnya dengan senyuman.

"I want to tell you something. About Leo's dream. He said, he want to see me as the pianist. Tapi Ayah tidak mau kejadian yang telah terjadi kembali terulang," jelasku pada Mr. Johan. "Can you help me? Jangan bicarakan ini pada siapapun, apalagi Mr.Korrigan," lanjutku. Mr. Johan mengangguk setuju.

--

Setelah hampir 6 bulan aku berlatih dan mengurus semua yang aku dan Leo impikan di perusahaan rekaman milik Mr. Johan, aku merasa ini saatnya untuk membuktikan pada Korrigans bahwa aku tidak akan mengulang apa yang telah terjadi pada Leo.

"Morning, Laquisha," sapa Ayah saat aku turun dari tangga. Aku tersenyum sambil memakai jaket, karena udara pagi ini sangat dingin. "Sarapan apa, Ibu?" tanyaku sesampainya di meja makan. "Seperti yang kau pinta kemarin, Laquisha," jawab Ibu kemudian mencium keningku.

"Ayah, memangnya kenapa kau tidak mengizinkan Laquisha untuk kembali melanjutkan mimpinya sebagai pianist?" tanya Aeldra dengan hati-hati. "Ayah hanya tidak ingin kehilangan orang yang Ayah cintai lagi," Ayah menatapku. Aku terus mengunyah makananku dan berpura-pura tidak menyadari kalau Ayah sedang menatapku.

"But, kalau itu memang impian Leo bagaimana?" tanyaku. "Ayah pergi dulu. Bye, Korrigans," Ayah menatapku dingin lalu pergi keluar rumah. Aku mengikuti Ayah keluar rumah. Tanpa menatap dan berpamitan padanya, aku masuk ke mobil Leo dan pergi ke sekolah.

Aneh rasanya, selama bertahun-tahun menjadi seorang pelajar, baru kali ini aku tidak berkonsertrasi sama sekali. Badanku terasa lemas, kepalaku sangat sakit. "Laquisha, what happen?" tanya seorang sahabatku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum penuh kepalsuan.

"Laquisha, let me tell you something," Mrs.Althia memanggilku setelah hampir seluruh teman sekelasku keluar dari kelas. "Um, I know you're the greatest pianist in our school. And next week, our school will celebrate Mr.Beny's birthday, our Headmaster. Want you intertain us with your best classical musics?" tanya Mrs.Althia. Wajahku memucat teringat ucapan Ayah yang tidak mengizinkanku bermain piano lagi.

"I'm glad to hear that, Mrs.Althia," guru matematika favoritku tersenyum kemudian meninggalkanku sendirian di kelas. I know, I did it again. Aku berjalan pelan menuju mobilku.

"Good afternoon, Ms.Korrigan," sapa asisten Mr.Johan saat aku memasuki lantai 2. "Good afternoon too," balasku sebelum menutup pintu ruangan Mr.Johan.

Aku ceritakan semua kejadian sejak aku pergi sekolah hingga aku diminta untuk mengisi acara ulang tahun Mr.Beny. "Oke, besok sepulang sekolah kita mulai latihan. Lagu apa yang akan kau mainkan nanti?" tanyanya. Ini berarti, aku harus membohongi Ayah. Lagi.

"Laquisha, kau sudah tahu kan besok kita akan pergi?" tanya Ibu saat makan siang. Aku menggeleng sambil menghabiskan makanan yang ada di mulutku, "tidak ada yang mengatakannya padaku. And I'm sorry, I can't." "Why?" tanya Ayah yang datang dari arah ruang tamu. "Um, my school will celebrate Mr.Beny's birthday. Seluruh murid di undang, tapi jika ada orang tua yang ingin datang juga diperbolehkan," aku menghentikan makanku. Apa yang telah ku katakan? Bodoh kau, Laquisha!

"Okay, Ayah akan datang besok. Tapi ada sedikit kerjaan tambahan, mungkin Ayah akan terlambat datang," jelasnya. Aku segera meneguk air mineral, lalu berlari menuju kamar sambil menahan emosi. Bagaimana kalau Ayah mengetahui aku masih menggeluti dunia piano?

Aku memukul pintu dengan keras. I'm stressed, too confused.

--

"Finally! Laquisha, sekarang kau pergi ke ruang ganti. Ganti bajumu, kemudian kembali kesini agar aku bisa mempercantik dirimu," kata Mrs.Althia. Aku mengangguk dan berjalan cepat ke arah ruang ganti. Setelah mengganti bajuku, aku kembali mendatangi Mrs.Althia. "Lagu apa yang akan kau mainkan?" tanya Mrs.Althia sambil menata rambutku yang cukup berantakan. "Lihat saja nanti," jawabku sambil tertawa.

"Ladies and Gentleman. Please welcome, Ms.Laquisha Korrigan!" aku berjalan perlahan dari belakang panggung. Suara tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru ruangan.

Jari-jariku mulai memainkan lagu terakhir. Aku memejamkan mataku perlahan, mengikuti alunan musik yang kumainkan. Tiba-tiba sosok Leo datang kembali di bayang-bayangku. Kini aku membiarkan Leo ikut menikmati alunan musik. Aku tetap memainkan piano dengan penuh perasaan.

Tanganku berhenti memijit tuts piano terakhir. Aku berdiri kemudian melihat sekeliling. Semua orang --- terutama Mr.Beny --- bertepuk tangan sambil tersenyum bahagia. Senyum terukir di wajahku ketika melihat wajah semua yang melihat penampilanku malam ini.

Jantungku nyaris berhenti ketika memandang ke arah pintu masuk. Ayah sedang berdiri tegap disana sambil menatapku dingin. Ayah langsung berjalan keluar gedung. Aku berlari ke belakang panggung dan segera melangkah menyusul  Ayah. Tapi terlambat, Ayah sudah melajukan mobilnya sebelum aku menggapai tangannya.

"What happened, Laquisha?" tanya Mrs.Althia yang melihat riasan rambutku yang mulai berantakan. "I'm sorry, Ma'am. I have to go now. See you at Monday!" Aku mencium pipi kanan Mrs. Althia dan segera berlari menuju mobil. Ku lajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Untungnya keadaan jalanan tidak terlalu ramai malam itu.

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu depan dengan perlahan. Di ruang tamu sangat sepi, layaknya rumah tak berpenghuni. Aku melangkahkan kaki menuju dapur.

PLAK!

Ayah tak segan-segan menampar pipiku dengan sangat keras. Aku terdiam dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. "How dare you, Mrs.Korrigan! HOW DARE YOU LIED TO ME!" Wajah Ayah tampak merah padam penuh amarah. "I'm so sorry. I just wanna make you all happy, especially Leo and you," suaraku tercekat karena menahan terlalu banyak emosi dan air mata.

"INI CARAMU MEMBUAT AYAH BANGGA!? I've said I never want to see you with your-bloody-piano again! After Leo's died," Ayah sudah berada di puncak amarahnya. Tanpa disadari, Ayah mengambil pisau --- barang yang paling dekat dengannya --- lalu berjalan pelan ke arahku. Aku takut, tapi aku tidak sanggup untuk berlari.

"No, Mr.Korrigan! I SAID, NO!" Ibu menarik tangan Ayah yang tidak memegang pisau. Ku pikir, adegan seperti ini hanya ada di khayalan manusia saja. Ternyata, sekarang aku mengalaminya. Aeldra membantu Ibu menenangkan Ayah sambil bercucuran air mata. "Dad, please! You cannot do this!!" Aeldra berteriak tak kalah kencangnya dari Ibu.

"Dad, please. Listen to me!" suaraku makin tercekat, masih berusaha untuk menahan air mataku. "I'm just a girl. 15 years old girl. Who has my own dream. And this is my dream. Ayah dulu pernah bilang, kalau semua anak Ayah harus mempunyai mimpi," lanjutku. Ayah semakin memberontak. Aeldra yang sudah tidak kuat menahan Ayah langsung berlari membawaku ke kamar.

--

Aku rasa aku mulai terbiasa dengan suasana di pagi tanpa seorang ayah di rumah sejak 5 bulan lalu. Semenjak kejadian pada malam itu, Ayah di rawat karena penyakit darah tingginya yang sudah parah. Dan semenjak saat itu juga aku mulai menjauh dari piano milik Leo. Di rumah pun sudah tidak terdengar alunan musik indah dari piano ataupun biola, karena Ibu tidak mau terjadi pertengkaran lagi.

"Laquisha, follow me. Ayah akan berbicara denganmu," kata Aeldra yang sengaja datang ke sekolahku. Aku mengangguk dan memberikan kunci mobil kepadanya. "Aeldra, what happened?" aku berusaha menutupi kekhawatiranku dihadapan Aeldra. "Ayah sempat tak sadarkan diri dua hari yang lalu. Kemarin pagi Ayah sadar dan tiba-tiba saja ingin menemuimu," jelas Aeldra. Dan setelah itu, aku hanya bisa terdiam.

Aku memasuki kamar dan langsung menghampiri Ayah yang sedang terbaring lemah. "Ayah, ini aku. Laquisha," Ayah membuka matanya dan tersenyum padaku. Sudah lama aku tidak melihatnya tersenyum seperti ini. "Apa yang ingin Ayah bicarakan?" tanyaku. Ibu dan Aeldra langsung berjalan keluar ruangan. "Laquisha, I'm so sorry for being over-protectived. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Tadi, Ayah bertemu dengan Leo dimimpi. Dia menjelaskan betapa kau ingin sekali menjadi seorang pianist sepertinya," kata Ayah dengan suara lemahnya.

Tenggorokanku terasa kering seketika. "And I think, your dream will come true. Ayah sudah menyuruh Ibu untuk menghubungi Mr.Johan untuk mengurus segala sesuatunya untukmu. I'm so sorry, Laquisha," Air mataku jatuh tepat di tangan Ayah. "Thanks, Mr.Korrigan!!" Aku memeluk tangan Ayah cukup erat sehingga Ayah kesakitan. "Hehehe, I'm sorry Mr.Korrigan!" ujarku tersenyum lebar.

Tiba-tiba mata Ayah tertutup kembali. Aku panik. Tidak ada alat pendeteksi detak jantung di kamar itu. Tak lama, 2 perawat dan seorang dokter masuk ke dalam kamar dan langsung memeriksa Ayah. Ini persis seperti apa yang terjadi pada Leo. Gumamku.

***

Aku berjalan ke belakang panggung dengan perasaan senang, sekaligus sedih. Aku senang, karena aku sudah mampu mewujudkan mimpi 2 orang sekaligus. Sedihnya, 2 orang itu tidak melihat aku seperti sekarang ini secara langsung.

Disinilah akhir dari Classical Music and Art by Korrigan's. Our mission is finished, Mr.Arthur and Mr.Leo Korrigan!

No comments:

Post a Comment

Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.