12/19/12

Kopi dan Teh #3

Masih hari Rabu. Itu tandanya Navita akan satu atap bersama Om Nino 4 hari lagi. Memang hidup yang membosankan seminggu ini. Navita lebih memilih untuk berdiam lama di sekolah, di café untuk bertemu Sandi atau ke rumah salah satu sahabatnya. Donita yang tidak mengetahui apa-apa cukup heran dengan perubahan sikap kakak tirinya.


“Bu Ninda, hari ini Navi sama Donita libur,” Donita berteriak saat menuruni tangga diikuti Navita. “Loh, libur? Ada apa?” tanya Om Nino. “Om gak denger? Donita manggil Bu Ninda, bukan om,” kata Navita ketus. “Eh, Navi gak boleh gitu! Om Nino kan bermaksud baik sama Donita,” ujar Tante Misya, adik bungsu Papa Richard. “Baik darimana kalau ngerusak harga  diri Mam Gita,” balas Navita dengan meninggikan suaranya.

“Tante, Navita mau pergi ya. Bosen di rumah. Tugas sekolah lagi gak ada. Assalamu’alaikum,” Navita mengecup pipi Tante Misya. “Wa’alaikumsalam, hati-hati sayang,” balas Tante Misya dan Bu Ninda berbarengan.

“Pak Sino, Navi pengen ke café lagi,” Pak Sino mengedipkan matanya lewat kaca spion. Navita mengambil blackberrynya lalu mencari kontak Sandi. “Asalamu’alaikum, Sandi? Hari ini bisa ke café kan? Navi bosen banget di rumah—okay, Navi udah dijalan ya!” Navita menekan tombol berwarna merah dan memasukkan blackberrynya ke dalam tas.
***
“Sandi!!” Navita berlari lalu memeluk erat Sandi. “Uh-hm, maaf, hehe. Oh iya, Navi pengen cerita lagi!” “Boleh, cerita apalagi?” Sandi mencubit pipi Navita sambil tertawa. “Papa sama Mama seminggu ini lagi di Singapura dan…Om Nino yang ngejagain rumah sementara. Sandi, Navi gak mau! Gimana caranya supaya Om Nino gak hubungan lagi sama Pap Rich? Tadi pura-pura baik juga ke Donita. Mungkin gara-gara Donita gak tahu apa-apa ya,” Navita meneguk secangkir kopi yang baru saja datang. “Gue tahu, lo itu trauma sama Om Nino. Tapi, ya gak seharusnya juga lo ngusir Om Nino, Nav. Dia juga berhak ngelayanin lo sama Donita, karena lo adalah anak kandung dari Om Nino,” jawab Sandi santai. “Tapi Navi gak mau, Sandi! Navi bukan anak kandung Om Nino! Navi gak akan pernah nganggep Om Nino itu ayah Navi!”

Prakk!

Terdengar suara cangkir teh jatuh. Pelayan itu terlihat tegang. Navita dan Sandi segera berlari mendekati pelayan itu. “Mbak, gak apa-apa ka--Lidia?!” Navita kaget. “Lidia! Lidia ngapain disini?!” tanya Navita sambil merangkul tubuh Lidia. Lidia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

-Lidia’s P.O.V-

Jadi? Navita anak yang terlahir akibat seks bebas?!

Lidia tidak sengaja mendengar perbincangan antara Navita dan teman lelakinya. Lidia tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Bahkan melihat Navita hanya berdua dengan lelaki sekalipun.

Prakk!

Wajah Lidia memucat. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Navita mengetahui dirinya bekerja di café itu dan Lidia dipecat. Kalau dipecat, bagaimana dia bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya? Bagaimana nasib dirinya nanti? Bagaimana komentar ayahnya nanti?

-Lidia’s P.O.V end-

“Lidia kenapa bisa ada disini?” tanya Navita yang tidak menyadari Lidia mendengar pembicaraannya bersama Sandi. “Navi, maafin Lidia,” Lidia mulai mengeluarkan air mata. “Loh? Maafin kenapa, Lidia?” Sandi memberikan secangkir teh hangat pada Navita lalu memberikannya pada Lidia. “Lidia udah jahat sama Navi. Lidia tadi gak sengaja denger pembicaraan Navi sama orang itu,” Navita kaget. “Gak apa-apa kok Lidia. Gak sengaja kan? Tapi Navi minta jangan kasih tahu yang lain dulu ya, Navi belum siap,” Lidia mengangguk lemas.

“Lidia, apa-apaan kamu?! Kamu baru bekerja beberapa minggu saja sudah begini!” seorang ibu muda datang dan membentak Lidia yang sedang terisak. “Um, maaf, Bu. Lidia tidak sengaja memecahkannya. Ada kecelakaan kecil tadi,” jawab Navita halus. “Kamu siapa?!” tanya Ibu muda yang ternyata manager café itu. “Saya Navita, teman Lidia. Bukan mencari pembelaan, tapi memang kenyataannya seperti itu. Lidia tidak salah apa-apa, saya yang salah. Biarkan saya yang mengganti,” Navita mengeluarkan dua lembar uang untuk mengganti cangkir kopi dan teh yang pecah. Tak lama, ibu muda itu pergi meninggalkan Lidia, Sandi, dan Navita dengan ketus.

“Lo sadar gak?” tanya Sandi berusaha mencairkan suasana. “Apa?” “Gue pernah bilang kan kopi dan teh itu selalu bersama. Lihat, keduanya pun jatuh bersamaan,” Navita terdiam memandangi setiap keping pecahan cangkir itu. “Hahaha, lucu juga ya!” Navita tertawa sambil mengelus kepala Lidia yang masih terisak.

“Lidia kenapa bisa ada disini? Cerita dong sama Navita!” wajah Lidia berubah lebih pucat. “Eng, um, jadi gini, papa Lidia tuh udah gak kerja lagi semenjak..perusahaan papa bangkrut. Lidia gak tahu harus gimana lagi, papa udah frustasi. Jadi, akhirnya Lidia aja yang cari kerja dan memutuskan untuk keluar dari sekolah,” jawab Lidia sambil terisak. Navita dan Sandi tercengang. “Lidia, walaupun lo kerja kayak gini, bukan berarti lo harus keluar dari sekolah kan? Justru sekolah itu penting,” jelas Sandi. “Gini deh, jaman sekarang banyak yang buka lowongan kerja, dan kebanyakan salah satu syaratnya adalah lulus SMA. Sedangkan lo? Baru segini udah nyerah. Perjuangan lo masih panjang! Ibaratnya satu batang tanaman yang baru menemukan tanah tempat dia akan tumbuh menjadi satu tanaman yang besar, kuat, bermanfaat. Batang itu gak mungkin langsung tumbuh menjadi tanaman, tapi butuh PROSES. Batang itu menyerap air dari dalam tanah, dan melakukan fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Sama halnya kayak manusia, gak mungkin langsung jadi orang sukses dan berguna. Pasti butuh proses. Lo jangan nyerah dulu disini,” lanjut Sandi.

-Navita’s P.O.V-

Navita terdiam, memperhatikan semua kata-kata yang keluar dari bibir Sandi. Sandi…jadi, inikah orangnya? Selama ini seseorang yang menjadi tempat mencurahkan perasaan Navita adalah laki-laki yang Navita cintai? Pikirnya. Navita menggeleng tak percaya. Tidak mungkin, itu hanya perasaan. Pikirnya lagi.

-Navita’s P.O.V end-

“Thanks a lot, kak. Mulai besok, Lidia bakal masuk sekolah! Lidia gak akan buat papa kecewa! Oke, Lidia lanjut kerja ya,” katanya tersenyum. Navita membalas senyumnya dan memeluknya. “Sekarang Lidia gak boleh nangis lagi ya!” Lidia mengedipkan mata kirinya pada Navita. Mata kiri. Bisik Navita dalam hati.

***

Tak terasa hari sudah sore, dan awan pun mulai menghalangi matahari yang masih ingin menyapa makhluk-makhluk ciptaanNya. Sandi dan Navita mengakhiri pertemuan hari itu dengan canda dan tawa—juga secangkir kopi dan teh, tentunya. Navita pun menghampiri Pak Sino yang masih menatap koran hari itu. “Sudah neng?” Navita mengangguk, Pak Sino melipat rapi koran yang tadi dibacanya. Mereka melangkahkan kakinya ke luar café, dan mempercepat langkahnya ketika awan mulai menjatuhkan air matanya.

No comments:

Post a Comment

Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.