Hari liburan pun
usai. Aku kembali beraktifitas di sekolah. Sejujurnya aku merasa sedih,
teman-teman dekatku sewaktu kelas 10 kini berbeda kelas denganku, termasuk
Rasyid. Tapi aku juga tidak cukup khawatir untuk beradaptasi dengan teman-teman
baru.
“Selamat pagi,
selamat datang di kelas baru. Ingat, kalian sekarang bukan lagi anak-anak…” Aku
mendengarkan wali kelasku berpidato di depan kelas dengan sedikit malas.
Pada jam istirahat,
aku sengaja pergi ke kantin untuk bertemu Rasyid, Hani, dan teman dekatku yang
lain. Mereka bercerita tentang kelas baru yang mereka tempati kini. Ada yang
terdengar murung karena merasa kurang nyaman, ada juga yang terdengar bahagia
karena satu kelas dengan gebetan-itu sebutan untuk orang yang mereka kagumi.
“Um, hai, Gracia!”
seseorang menepuk pundakku. Aku tercengang, “Soni? Kenapa..”. “Aku mutasi
kesini, aku pengen liat kamu lagi,” katanya dengan tampang polos. “Lo siapa?”
tanya Rasyid datar. Kenapa? Aku menggaruk
kepalaku yang tidak gatal. “Syid, ini temen SMP gue yang pernah gue ceritain
itu. Son, ini Rasyid, pacar gue,” kataku berusaha menyembunyikan kegelisahanku.
“Oh, dia temen sekelasku. Kamu ketua kelas itu kan?” tanya Soni. Rasyid
mengangguk dan sedikit tersenyum.
Berawal dari
pertemuan kembali di kantin itu, Rasyid dan Soni menjadi cukup dekat. Hanya
saja, Rasyid berusaha agar aku sedikit menjau dari Soni. Sudahlah, ini tidak
perlu dibahas menurutku. Intinya, Soni sudah bergabung dengan teman sepermainanku.
***
“…Son, ini Rasyid,
pacar gue.”
Dengan wajah
polosnya Gracia berkata seperti itu. Entah kenapa saat gadis berkata seperti
itu, hatiku ingin meledak. Aku rela pindah sekolah hanya untuk bertemu
dengannya. Aku berjuang mati-matian untuk membujuk orang tuaku agar mereka mau
menuruti permintaanku ini. Tapi dia sama sekali tidak menyadarinya. Tunggu.
Bagaimana dia bisa sadar semua perjuanganku? Aku memang sengaja tidak
memberitahunya agar menjadi sebuah kejutan. Ah, yang terpenting aku sudah menunjukkan
pada Gracia bahwa aku sayang padanya.
***
Hari ini, aku telah
bersiap untuk bermain bersama teman-teman seperti biasa. Walaupun aku dan
mereka berbeda kelas, aku tetap merasa lebih nyaman bermain dengan mereka. Ada
satu hal yang berbeda dari biasanya. Yap, Soni juga ikut bermain bersamaku.
Sebenarnya aku sudah tidak mempunyai perasaan seperti dulu, hanya saja aku
khawatir pada Rasyid. Sikapnya yang berubah menjadi dingin saat aku berdekatan
dengan Soni adalah salah satu hal yang ku takuti. Apalagi pagi ini, Soni
mengajakku untuk berangkat bersama dan menyuruh Rasyid untuk tidak menjemputku.
Ah, kacau.
“Rasyid!!” aku
berlari ke arah Rasyid setelah turun dari motor yang dikendarai Soni. Rasyid
tersenyum lebar saat aku memanggilnya, tapi berubah menjadi datar saat melihat
Soni. “Rasyid, sudah. Gue kan cuma dianter kesini doang. Kesananya sih sama lo,
Syid,” ucapku sambil mencubit pipinya. Rasyid kembali tersenyum padaku tanpa
mempedulikan keberadaan Soni.
Bijak dan Soni mulai
menjalankan motornya yang sudah ditumpangi Hani dan Anya. Sedangkan Rasyid yang
membawa mobil sudah berjalan terlebih dulu dengan membawa barang bawaan di
mobil bagian belakang.
“Lo masih sayang
sama Soni?” tanya Rasyid tiba-tiba. “Hah? Kalau gue masih sayang sama Soni, gue
gak akan nerima lo, Syid,” jawabku sambil tertawa. “Mungkin lo jadiin gue
pelampiasan gitu, who knows?” katanya tenang sambil menyetir. “It’s not funny,
dude. Mainan gue itu gadget, bukan cowok,” kataku serius. Rasyid hanya tertawa
mendengar ucapanku.
Aku merasa liburan
ini sedikit berbeda. Entah karena kami semua berbeda kelas, atau karena
kehadiran seorang Soni yang membuat Rasyid menjadi tak nyaman. Ku harap tidak
akan terjadi suatu masalah.
Malamnya, aku tidak
mengantuk sama sekali. Akhirnya ku putuskan untuk menonton televisi di ruang
tengah. Membosankan memang, tapi untuk membeli beberapa cemilan aku tidak
berani keluar villa itu. Suasana sudah cukup larut dan aku tidak berani untuk
keluar sendirian.
“Gracia!” seseorang
menepuk pundakku dari belakang. “Hhhh, Soni! Gue kaget,” Soni tertawa melihat
wajahku yang memucat. “Lo belum ngantuk?” tanyaku. Dia menggeleng, “aku pengen
beli cemilan nih. Temenin yuk.” “Akhirnya! Gue juga mau beli cemilan, cuma gue
takut aja keluar malem gini. Tunggu!” aku berlari ke kamar dan mengambil
jaketku. “Ayo!” aku menarik tangan Soni untuk keluar.
Soni mengendarai
sepeda dengan sangat hati-hati. Dia tidak bisa melihat dengan jelas di malam
hari, sehingga aku membantunya dengan senter yang ku bawa. Seketika aku
teringat saat aku dan Soni terjatuh dari sepeda karena dia lupa tentang
penglihatannya itu. Hey, kejadian itu sudah lama. Untuk apa aku mengingatnya.
Cih.
Sesampainya kami
kembali ke villa dengan membawa satu bungkus penuh cemilan, aku beranjak ke
kamar untuk mengambil DVD yang sengaja ku bawa dari rumah. Ku putuskan untuk menonton
film kesukaanku, Harry Potter. Aku sangat menikmati malam itu. Entah karena ini
memang kebiasaanku, atau karena ada Soni di sampingku. Ah, aku sudah tidak
mempunyai perasaan apa-apa dengannya. Ck, untuk apa?
***
Senin pagi ini aku
tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah. Mungkin karena aku terlalu capek
dengan semua tugas yang kukerjakan seharian di hari Minggu. Tapi mau tak mau
aku harus menarik tubuhku ke kamar mandi dan ke ruang makan agar tidak terlambat
ke sekolah. Lebih tepatnya agar Rasyid tidak menunggu lama.
“Tante, kita pergi
dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Rasyid pada mama. Mama membalas ucapan salam
Rasyid dan masuk ke dalam rumah. “Tadi malem tidur jam berapa lo?” tanya Rasyid
datar. “Hm? Jam 10 kok, kenapa?” tanyaku. “Lo bohong. Ada mata panda tuh,”
tangan Rasyid memegang pelipisku cukup keras. “Oke, gue bohong. Gue tidur jam
2, banyak tugas minggu ini yang harus gue kerjain,” aku tersenyum simpul. “Gue
udah bilang berapa kali, jangan tidur malem! Lo mau sesak lagi?” Aku menggeleng
sambil menatap sepatuku yang mulai kucel. Rasyid kemudian mencubit lengan
atasku dengan keras, “itu balasan karena lo tidur malem.”
Rasyid menyuruhku
untuk turun dari mobil, sementara dia mencari lahan parkir untuk mobil. Aku
sengaja menunggunya di pos satpam sekolah agar tidak terlalu jauh dari tempat
parkir sekolah. Tak lama, Soni datang dengan motornya. Sambil menunggu Rasyid
datang, aku dan Soni berbincang tentang masa SMP dulu. Ah, menyenangkan
rasanya!
“Gracia, ayo!”
tiba-tiba Rasyid merangkulku dari belakang. “Simpen motor lo dan cepet ke
kelas. Lo piket hari ini,” katanya dingin pada Soni. Aku dan Rasyid berjalan
menuju kelas, sedangkan Soni menjalankan motornya menuju lahan parkir khusus
motor. “Gue kurang suka lo deket sama dia,” kata Rasyid seketika. “Huh? Why? Lo
tahu kan gue sama dia temenan sejak kelas 7?” tanyaku. “Cara dia natap lo beda,
sayang. Dengar. Kalau lo milik gue, gue bakal pertahanin. Sebanyak apapun cowok
yang deketin lo, atau cewek yang deketin gue,” katanya lagi sambil memegang
erat tanganku.
Entah kenapa saat
Rasyid berkata seperti itu, aku menjadi lebih bersemangat untuk belajar hari
ini. Aku tahu kami berada di kelas-bahkan jurusan-yang berbeda. Tapi..uh,
kalian pasti mengerti. Dan akibat dari kejadian pagi itu, teman sebangku,
Wilma, bertanya dan menatapku heran.
***
Rasyid memukul meja
Soni dengan keras. Seluruh murid kelas XII IPA 2 itu otomatis melihat ke arahnya
dan Soni.
“Gue udah baca
semuanya, Son! Gue gak suka lo deketin Gracia. Sadar dong, dia udah milik gue!
Dan lo jangan berusaha buat Gracia berpaling ke lo,” teriak Rasyid. “Gue tahu
lo temen deket Gracia dari kelas 7. Tapi tolong, sekarang dia siapa?”
lanjutnya. Hani dan Putri dengan sigap mendekat dan berusaha menenangkan
Rasyid. Soni hanya bisa terdiam. Antara merasa bersalah dan memang berusaha untuk mendapatkan Gracia.
“Gak bisa jawab?! Ck, loser!” Rasyid semakin menjadi-jadi.
Karena Soni masih
terdiam, Rasyid akhirnya menampar Soni. Hani berusaha menarik Rasyid dan tetap
saja gagal. Akhirnya Hani dan Putri menyuruh teman laki-laki di kelasnya untuk
tetap melerai Rasyid dan Soni, sementara mereka lari mencari Gracia.
***
Bel istirahat kedua.
Saatnya untuk pergi ke masjid untuk shalat Dzuhur. Aku dan Wilma bergegas agar
mendapat tempat untuk shalat, dan bersiap untuk mengumpulkan tugas makalah Sejarah
yang harus di kumpulkan jam 12.30 siang. Selesai shalat, aku yang ditugaskan
oleh guru untuk mengumpulkan makalahnya, segera meminta semua pekerjaan teman
kelasku.
“Gracia!!” teriak
Putri dan Hani berbarengan. “Kenapa?” tanyaku heran melihat wajah mereka yang
ketakutan. “Rasyid..ba..bakal berantem sama Soni kayaknya!” bisik Putri yang
sadar sedang berada di depan ruang guru. “Hah?! Kenapa bisa?!” aku panik.
Sangat panik. Aku segera berlari menuju kelas Rasyid, diikuti oleh Wilma,
Putri, dan Hani.
“Rasyid!!!!”
teriakku saat melihat Rasyid yang hampir melempar sapu ke arah Soni. “Kalian kenapa?”
tanyaku pada Soni yang berada lebih dekat dariku. Soni menggeleng. “Bawa Rasyid
keluar, tenangin dia,” ujar Hani. Aku mengangguk dan mengajak Rasyid untuk
keluar.
“Tenang, tenang. Lo
memang pernah bilang bakal pertahanin, tapi gak kayak gini caranya,” aku mulai
berbicara setelah Rasyid bercerita semuanya. “Gracia sayang sama lo, Syid. Dia
juga bakal lakuin apa yang lo bilang tadi pagi. Um, maaf sih gue tadi gak
sengaja dengar lo ngomong gitu,” Wilma tersenyum lebar. Aku mengangguk. “Sudah,
sekarang lo harus percaya sama dia kalau Soni itu cuma sahabatnya. Gak lebih.
Dan untuk perasaan, itu masa lalu. Lupain,” aku hanya bisa terdiam. Aku sendiri
bingung harus mengatakan apa agar perasaan Rasyid membaik.
Sepulang sekolah, Rasyid
datang ke kelasku dan mengajakku pulang. Aku tersenyum tanda setuju, dia pun
membalas senyumku. Mungkin perasaannya sekarang mulai membaik sejak
pertengkarannya dengan Soni tadi siang. Complicated. Very complicated.
Rasyid menyuruhku
untuk menunggu di pos satpam seperti biasa, sementara dia pergi untuk menemui
wali kelasnya. Aku berjalan sendirian menuju pos, karena Putri, Hani, dan
lainnya sudah pulang lebih awal. Di otakku masih tersimpan kejadian
pertengkaran tadi siang. Antara dua orang yang ku sayang.
“Gracia, aku mau
bicara,” Soni mengajakku untuk sedikit menjauh dari keramaian, namun dapat
terlihat juga oleh siapapun yang melewatinya. “Kenapa?” tanyaku datar. Entah
kenapa suaraku jadi seperti ini. “Aku inget pertama kali kita ngobrol gimana
dan kapan. Aku inget semuanya, karena saat itu juga aku tertarik sama kamu. Kamu
tahu? Aku nyesel, kenapa aku lebih milih SMA 30 dibanding SMA 12 impian kita
dulu. Satu tahun aku disana, aku kira bakal berhasil lupa sama kamu. Ternyata
nggak. Aku ingin kita bisa bareng-bareng lagi, makanya aku pindah kesini.
Sekolah impian kita dulu. Dan kamu tahu? Aku ngelakuin ini semua karena aku sayang
sama kamu, dan gak rela jauh dari kamu,” katanya.
DEG. Aku tidak
pernah menyangka. Aku dan dia punya perasaan yang sama sejak dulu. “Tapi,
kenapa lo baru bilang? Gue juga dulu sayang sama lo, Son,” ujarku. “Aku takut.
Jadi?” tanyanya meminta kepastian. “Hhhh, itu dulu, Son. Semua yang lo lakuin
itu gue hargain. Tapi semuanya terlambat, Son. Lo udah bikin gue kecewa karena
lo lebih milih sekolah lain hanya karena lo bosan sama daerah sini, sedangkan
lo ternyata bisa masuk lewat prestasi lo itu. Ini impian kita, ini usaha kita
bareng. Hasilnya? Semuanya benar-benar terlambat. Udah ada Rasyid yang lebih
gue sayang. Maaf,” aku tersenyum pada Soni. “Um, ya aku tahu ini terlambat.
Setidaknya aku lega kamu tahu perasaan aku. Tuh, Rasyid udah siap nganter kamu
pulang. Hati-hati,” katanya sambil tersenyum. Aku hanya berlari tanpa membalas
senyuman terakhir dari Soni.
***
Aku memang tidak
pernah menyangka kalau dulu kita punya perasaan yang sama. Tapi saat kau jujur,
semuanya terlambat. Aku sudah terlanjur kecewa padamu, dan sudah ada orang lain
yang mengisi kekosongan hati saat kau pergi tanpa jejak. Aku tahu ini menyakitkan.
Namun, apa kita bisa memutar waktu dan mengubah semuanya?
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.