Dua wanita berkerudung sedang bercengkrama di
ruang tamu yang cukup luas. Tak lama, Soni keluar sambil membawa 4 gelas berisikan
jus jeruk. Ku sapa dirinya dengan senyum hangatku. Mungkin ini tidak cukup untuk
menarik perhatian darinya. Tapi berbuat lebih pun aku tidak berani. Ah sudah,
tak usah dipikirkan.
“Gracia, tante, ayo di minum. Masa saya udah
bikin tapi gak diminum, enak loh!” Soni memberikan dua gelas untukku dan ibuku.
Soni
tidak membiarkanku terdiam. Dia menarikku menuju halaman belakang. Disana
terdapat hewan peliharaan Soni dan kedua adiknya. Ah, menyenangkan sekali
rasanya berada disini.
“Gak gede sih, tapi nyaman buat aku ngelakuin
apa aja disini bareng Ari sama Luthfi,” ujarnya sambil mengelus kelincinya. “It’s
brilliant! Gue nyaman banget disini loh!” balas gue dengan semangat. Untuk
pertama kalinya aku berbicara dengannya. “Nah, nanti kalau kamu jenuh, aku siap
nemenin kamu disini,” Aku dan Soni pun lanjut bermain.
***
“Graciaaaa!
Happy birthday!!”
Soni
berteriak dari halaman rumahku sambil meloncat-loncat. Uh, dasar bocah! Aku
langsung menghampiri Soni yang berlagak layaknya anak baru lulus Sekolah Dasar.
Dan tak ku sangka, dia memegang kue berbentuk sekolah emblem Gryffindor-salah satu asrama di Hogwarts dalam film Harry Potter-sambil tersenyum lebar.
“Ayoo, tiup
lilinnya!” ujar Soni yang masih tersenyum. “Lo macam bocah, Son, hahaha!”
Kemudian aku meniup lilin yang berbentuk angka 14. “Kamu tuh yang lebih bocah,
kelas 9 masih aja 14 tahun. Ah, ya sudah gak penting. Ini buat kamu,” Soni
memberikan bingkisan panjang polos. “Ini dari aku, kak!” ujar Lutfi yang
tiba-tiba datang
Aku mempersilakan
mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah. Soni menarik tanganku dan menyuruhku
untuk membuka hadiah darinya. Entah kenapa saat Soni menarik tanganku, detak
jantungku semakin cepat. Aku merasa gugup. Tapi aku tidak mempedulikannya. Ku
buka bingkisan itu.
“Oh my….The Elder
Wand!! Thank you so much, Soni! This is my favorite gift ever! Hahahaha,” Aku
melompat tak menentu arah. Soni dan Lutfi tertawa melihatku yang bertingkah
seperti anak-anak. “See? You’re a real kid, Gracia! And, you’re welcome btw,”
Soni tersenyum simpul. “Ayo buka kado dari aku, kak!” Lutfi menjulurkan
tangannya dan memberiku bingkisan kecil. “Ah, gantungan kunci. Thank you,
Lutfi!” dia tersenyum girang karena aku menyukai hadiahnya.
Aku dan Soni mungkin
bisa dibilang sahabat. Dimana ada diriku, Soni pasti selalu ada. Begitu pula
sebaliknya. Teman satu angkatan kami pun mengira kami berpacaran sejak kelas
tujuh. Aku dan Soni hanya tertawa. Ya, itu ku lakukan untuk menyembunyikan
perasaanku pada Soni selama hampir 2 tahun ini. Ah, sudah. Itu tidak penting
untuk menjadi bagian dari cerita ini.
Bagaimana mungkin
aku bisa mengungkapkan perasaanku? Aku seorang perempuan. Aku sudah dekat
dengan Soni sudah 2 tahun lebih. Dia pasti hanya menganggapku sebagai seorang
teman dekat. Menyakitkan, tapi disisi lain aku belum berpikiran untuk
menjadikannya dia lebih dari sekedar teman.
Sore itu, di suatu
tempat bimbingan belajar, hanya aku dan Soni yang tersisa. Dia sengaja meminta
jadwal belajar tambahan pada guru. Dia ingin kami-terutama aku-untuk berhasil
mendapat sekolah lanjutan yang diinginkan nantinya. Sebenarnya, dia melakukan
ini untukku. Dia hanya menemaniku belajar agar aku lebih bersemangat. Sekarang,
Soni merupakan kapten basket di sekolah. Dan berkat itu, dia mempermudah cara
agar dapat masuk sekolah yang diinginkan dengan melalui jalur prestasi.
“Son, lo kapan tes?”
tanyaku saat menutup pintu mobilnya. “Hm, kayaknya sih minggu depan. Kamu?” aku
tidak begitu jelas mendengar perkataannya, karena mulutnya yang dipenuhi roti
bakar. “Ha? Minggu depan?” tanyaku lagi. Dia mengangguk. “Gue juga minggu
depan! Jam berapa? Siapa tahu bisa pergi bareng!” ujarku lebih bersemangat.
Soni terdiam, lalu menjawab dengan singkat, “lihat saja nanti.” Sekarang aku
yang terdiam.
Hari-hari berlalu.
Ya, tidak terasa hari ini adalah hari yang menentukan kemana aku akan
melanjutkan sekolah. Di sekolah itu, aku melihat ada beberapa anak yang sedang
mengikuti ujian praktek untuk jalur prestasi. Tapi, aku tidak melihat Soni. Mungkin dia belum datang, aku berjalan menuju kelas dimana aku akan
melaksanakan ujian tertulis.
Malamnya, aku
menghampiri rumah Soni untuk menanyakan kabarnya. Aku rindu padanya. Apa?
Rindu? Ah, tidak. Hanya ingin menanyakan kabarnya saja. Aku khawatir karena
tidak melihatnya di SMA tujuan kami. Uh, khawatir? Ah, sudah lupakan.
“Assalamu’alaikum,
Soni!” teriakku dari depan pintu. Tak lama, pintu rumah terbuka. “Wa’alaikum salam.
Gracia! Ayo masuk,” Soni mengajakku ke halaman belakang tempat pertama aku
berbicara padanya. “Eh, Son! Lo tadi kemana? Gue tadi nyari pas di SMA 12, tapi
lo gak muncul juga,” kataku memulai pembicaraan. “Um, aku gak jadi japres
disana. Aku cukup bosan sekolah di daerah yang sama,” balasnya sambil meminum
sirup yang baru dibawakan Bi Taniah. “Ha? Gue gak salah denger?! Kenapa bisa?
Lo kan yang pertama terobsesi sama sekolah itu? Lo juga yang bikin gue semangat
supaya masuk sekolah itu dan kita bareng lagi?!” aku kehabisan nafas untuk
tidak menerima kenyataan. “Ma..maaf, Gracia.”
Aku berjalan cepat
tanpa peduli orang tua Soni yang tadi menyapaku. Ku pikir dia akan mengejarku
lalu memohon agar aku memaafkannya. Ck, ini terlalu dramatis. Aku menyalakan
mesin motor kemudian melajukannya sambil menahan air mata.
***
Soni masih terdiam
di halaman belakang. Dia menyesal telah berkata terlalu jujur pada Gracia. Yang
lebih sakit, Soni telah berjuang bersama Gracia. Berjuang untuk dapat sekolah
yang diimpikannya sejak kecil, kemudian berubah menjadi mimpinya bersama orang
yang dia sayangi. Entah sayang apa yang Soni rasakan, tapi kejadian itu membuat
Soni merasa bodoh. Dia kembali meneguk sirup, dan berjalan lemas ke kamarnya.
Sesampainya di
rumah, aku berteriak sangat kencang. Ya, mulai sore tadi aku resmi menjadi
siswa SMA 12 yang merupakan sekolah impianku-yang dulu merupakan sekolah impian
Soni juga. Dengan perasaan senang, aku bergegas ke kamar mandi, berpakaian,
lalu menuju meja makan. Mama, ayah, dan adikku sudah bersiap untuk makan malam.
“Kak, tahu gak? Soni
keterima di SMA 30, lewat prestasi basket sih pasti. Katanya besok ospek
terakhir,” perkataan mama itu membuatku tersedak. Soni lagi? Pikirku.
Aku hanya mengacungkan jempol dan melanjutkan malam malamku dengan penuh rasa
sesak.
Aku menjalani
hari-hari sebagai siswa baru berseragam putih-abu dengan santai. Aku mulai
terbiasa dengan teman-teman baruku, dan mulai terbiasa tanpa Soni dipikiranku.
Tentu saja karena aku sudah menemukan teman laki-laki yang lebih membuatku
merasa nyaman-dan dapat melupakan Soni. Aku merasa kehidupan anak putih-abu
lebih menyenangkan. Walaupun aku terkadang merasa ada yang kurang tanpa
kehadiran Soni.
Bulan Agustus ini,
aku merasakan berbagai kebahagiaan. Aku sudah jarang bertemu dengan Soni saat
pergi maupun pulang sekolah. Ah, lupakan itu! Yang terpenting, aku sudah
berhasil menemukan orang yang lebih dari sekedar aku kagumi. Entahlah, aku
tidak bisa menjelaskan perasaanku. Tapi pasti semua remaja pernah merasakan
ini, ck.
Waktu sangat cepat
berlalu. Liburan semester ini, aku bersama Rasyid-pacarku-dan bersama
teman-teman dekatku lainnya berlibur ke villa milik salah satu temanku.
“Gracia, Rasyid!”
Hani, salah satu temanku, tiba-tiba saja menamparku. Aku tersontak. “Happy
anniv!” lanjutnya yang diikuti sorakan teman-teman yang lain.
Ah, aku sendiri
sampai lupa kalau hari ini adalah tanggal jadiku dengan Rasyid. Sebenarnya
tidak terlalu penting menurutku, hanya saja hampir semua remaja yang ku tahu
mengingat tanggal dimana mereka pertama berpacaran. Lucu bukan, ck. Aku,
Rasyid, dan teman-temanku melanjutkan aktifitas di hari libur bersama.
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.