Ku rebahkan tubuhku di tempat yang empuk beralaskan seprai merah muda. Ku tatap langit-langit kamarku yang berhiaskan lampu berbentuk bulan sabit berwarna putih susu. Sambil memeluk guling, aku bertanya pada diriku sendiri, "apa yang telah ku lakukan?" Disisi lain, hatiku menjawab, "kau tidak bersalah. Orang-orang itu hanya membuatmu bersalah. Aku yakin, sayang. Kau tidak bersalah."
Ku hela nafasku, dan kembali bertanya, "tapi..aku sudah membuatnya sakit. Salahkah aku?" Hatiku kembali menjawab, "kau tidak bersalah, sayang. Karena cinta datang tiba-tiba. Tidak ada satupun orang yang tahu."
Ada sesuatu yang jatuh melewati pipiku. Air mata. "Mengapa aku? Aku yang telah membuatnya seperti ini," tanyaku lagi dan lagi. "Kau ingat? Tongkat sihir memilih pemiliknya. Begitu pula cinta. Dan dia telah memilihmu, sayang," jawab hatiku dari sisi lain.
"Kalau begitu, kenapa terjadi seperti ini?" tanyaku sambil terisak. "Tak seharusnya dia mengiring teman-temannya untuk ikut dalam masalah ini, sayang. Untuk apa? Mencari pembelaan? Untuk membuatmu merasa tertekan? Itu cara yang salah sebenarnya. Kau harus tahu itu, sayang," hatiku berusaha keras untuk membuatku tenang dan tersenyum. Tapi air mataku terus mengalir dan membasahi pipi.
"Sudahlah, jangan menangis." Hatiku mengusap air mata. "Jadi? Apa yang harus ku lakukan sekarang?" tanyaku lagi, lagi, dan lagi. "Biarkan waktu yang membuatnya mengerti, sayang." itulah jawaban hatiku sebelum aku tertidur lelap.
Ada sesuatu yang jatuh melewati pipiku. Air mata. "Mengapa aku? Aku yang telah membuatnya seperti ini," tanyaku lagi dan lagi. "Kau ingat? Tongkat sihir memilih pemiliknya. Begitu pula cinta. Dan dia telah memilihmu, sayang," jawab hatiku dari sisi lain.
"Kalau begitu, kenapa terjadi seperti ini?" tanyaku sambil terisak. "Tak seharusnya dia mengiring teman-temannya untuk ikut dalam masalah ini, sayang. Untuk apa? Mencari pembelaan? Untuk membuatmu merasa tertekan? Itu cara yang salah sebenarnya. Kau harus tahu itu, sayang," hatiku berusaha keras untuk membuatku tenang dan tersenyum. Tapi air mataku terus mengalir dan membasahi pipi.
"Sudahlah, jangan menangis." Hatiku mengusap air mata. "Jadi? Apa yang harus ku lakukan sekarang?" tanyaku lagi, lagi, dan lagi. "Biarkan waktu yang membuatnya mengerti, sayang." itulah jawaban hatiku sebelum aku tertidur lelap.
-jascikalf-
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.