“Bu
Ninda, hari ini Navi sama Donita libur,” Donita berteriak saat menuruni tangga
diikuti Navita. “Loh, libur? Ada apa?” tanya Om Nino. “Om gak denger? Donita
manggil Bu Ninda, bukan om,” kata Navita ketus. “Eh, Navi gak boleh gitu! Om
Nino kan bermaksud baik sama Donita,” ujar Tante Misya, adik bungsu Papa
Richard. “Baik darimana kalau ngerusak harga
diri Mam Gita,” balas Navita dengan meninggikan suaranya.
“Tante,
Navita mau pergi ya. Bosen di rumah. Tugas sekolah lagi gak ada.
Assalamu’alaikum,” Navita mengecup pipi Tante Misya. “Wa’alaikumsalam,
hati-hati sayang,” balas Tante Misya dan Bu Ninda berbarengan.
“Pak
Sino, Navi pengen ke café lagi,” Pak Sino mengedipkan matanya lewat kaca spion.
Navita mengambil blackberrynya lalu
mencari kontak Sandi. “Asalamu’alaikum, Sandi? Hari ini bisa ke café kan? Navi
bosen banget di rumah—okay, Navi udah dijalan ya!” Navita menekan tombol
berwarna merah dan memasukkan blackberrynya
ke dalam tas.
***
“Sandi!!”
Navita berlari lalu memeluk erat Sandi. “Uh-hm, maaf, hehe. Oh iya, Navi pengen
cerita lagi!” “Boleh, cerita apalagi?” Sandi mencubit pipi Navita sambil
tertawa. “Papa sama Mama seminggu ini lagi di Singapura dan…Om Nino yang
ngejagain rumah sementara. Sandi, Navi gak mau! Gimana caranya supaya Om Nino
gak hubungan lagi sama Pap Rich? Tadi pura-pura baik juga ke Donita. Mungkin
gara-gara Donita gak tahu apa-apa ya,” Navita meneguk secangkir kopi yang baru
saja datang. “Gue tahu, lo itu trauma sama Om Nino. Tapi, ya gak seharusnya
juga lo ngusir Om Nino, Nav. Dia juga berhak ngelayanin lo sama Donita, karena
lo adalah anak kandung dari Om Nino,” jawab Sandi santai. “Tapi Navi gak mau,
Sandi! Navi bukan anak kandung Om Nino! Navi gak akan pernah nganggep Om Nino
itu ayah Navi!”
Prakk!
Terdengar
suara cangkir teh jatuh. Pelayan itu terlihat tegang. Navita dan Sandi segera
berlari mendekati pelayan itu. “Mbak, gak apa-apa ka--Lidia?!” Navita kaget.
“Lidia! Lidia ngapain disini?!” tanya Navita sambil merangkul tubuh Lidia.
Lidia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
-Lidia’s
P.O.V-
Jadi? Navita anak yang terlahir akibat
seks bebas?!
Lidia
tidak sengaja mendengar perbincangan antara Navita dan teman lelakinya. Lidia
tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Bahkan melihat Navita hanya berdua
dengan lelaki sekalipun.
Prakk!
Wajah
Lidia memucat. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Navita mengetahui dirinya
bekerja di café itu dan Lidia dipecat. Kalau dipecat, bagaimana dia bisa
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya? Bagaimana nasib dirinya nanti? Bagaimana
komentar ayahnya nanti?
-Lidia’s
P.O.V end-
“Lidia
kenapa bisa ada disini?” tanya Navita yang tidak menyadari Lidia mendengar
pembicaraannya bersama Sandi. “Navi, maafin Lidia,” Lidia mulai mengeluarkan
air mata. “Loh? Maafin kenapa, Lidia?” Sandi memberikan secangkir teh hangat pada
Navita lalu memberikannya pada Lidia. “Lidia udah jahat sama Navi. Lidia tadi
gak sengaja denger pembicaraan Navi sama orang itu,” Navita kaget. “Gak apa-apa
kok Lidia. Gak sengaja kan? Tapi Navi minta jangan kasih tahu yang lain dulu
ya, Navi belum siap,” Lidia mengangguk lemas.
“Lidia,
apa-apaan kamu?! Kamu baru bekerja beberapa minggu saja sudah begini!” seorang
ibu muda datang dan membentak Lidia yang sedang terisak. “Um, maaf, Bu. Lidia
tidak sengaja memecahkannya. Ada kecelakaan kecil tadi,” jawab Navita halus.
“Kamu siapa?!” tanya Ibu muda yang ternyata manager café itu. “Saya Navita,
teman Lidia. Bukan mencari pembelaan, tapi memang kenyataannya seperti itu.
Lidia tidak salah apa-apa, saya yang salah. Biarkan saya yang mengganti,”
Navita mengeluarkan dua lembar uang untuk mengganti cangkir kopi dan teh yang
pecah. Tak lama, ibu muda itu pergi meninggalkan Lidia, Sandi, dan Navita
dengan ketus.
“Lo
sadar gak?” tanya Sandi berusaha mencairkan suasana. “Apa?” “Gue pernah bilang
kan kopi dan teh itu selalu bersama. Lihat, keduanya pun jatuh bersamaan,”
Navita terdiam memandangi setiap keping pecahan cangkir itu. “Hahaha, lucu juga
ya!” Navita tertawa sambil mengelus kepala Lidia yang masih terisak.
“Lidia
kenapa bisa ada disini? Cerita dong sama Navita!” wajah Lidia berubah lebih
pucat. “Eng, um, jadi gini, papa Lidia tuh udah gak kerja lagi
semenjak..perusahaan papa bangkrut. Lidia gak tahu harus gimana lagi, papa udah
frustasi. Jadi, akhirnya Lidia aja yang cari kerja dan memutuskan untuk keluar
dari sekolah,” jawab Lidia sambil terisak. Navita dan Sandi tercengang. “Lidia,
walaupun lo kerja kayak gini, bukan berarti lo harus keluar dari sekolah kan? Justru
sekolah itu penting,” jelas Sandi. “Gini deh, jaman sekarang banyak yang buka
lowongan kerja, dan kebanyakan salah satu syaratnya adalah lulus SMA. Sedangkan
lo? Baru segini udah nyerah. Perjuangan lo masih panjang! Ibaratnya satu batang
tanaman yang baru menemukan tanah tempat dia akan tumbuh menjadi satu tanaman
yang besar, kuat, bermanfaat. Batang itu gak mungkin langsung tumbuh menjadi tanaman,
tapi butuh PROSES. Batang itu menyerap air dari dalam tanah, dan melakukan
fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Sama halnya kayak manusia, gak
mungkin langsung jadi orang sukses dan berguna. Pasti butuh proses. Lo jangan
nyerah dulu disini,” lanjut Sandi.
-Navita’s
P.O.V-
Navita
terdiam, memperhatikan semua kata-kata yang keluar dari bibir Sandi. Sandi…jadi, inikah orangnya? Selama ini
seseorang yang menjadi tempat mencurahkan perasaan Navita adalah laki-laki yang
Navita cintai? Pikirnya. Navita menggeleng tak percaya. Tidak mungkin, itu hanya perasaan. Pikirnya
lagi.
-Navita’s
P.O.V end-
“Thanks
a lot, kak. Mulai besok, Lidia bakal masuk sekolah! Lidia gak akan buat papa
kecewa! Oke, Lidia lanjut kerja ya,” katanya tersenyum. Navita membalas
senyumnya dan memeluknya. “Sekarang Lidia gak boleh nangis lagi ya!” Lidia
mengedipkan mata kirinya pada Navita. Mata
kiri. Bisik Navita dalam hati.
***
Tak terasa
hari sudah sore, dan awan pun mulai menghalangi matahari yang masih ingin
menyapa makhluk-makhluk ciptaanNya. Sandi dan Navita mengakhiri pertemuan hari
itu dengan canda dan tawa—juga secangkir kopi dan teh, tentunya. Navita pun
menghampiri Pak Sino yang masih menatap koran hari itu. “Sudah neng?” Navita
mengangguk, Pak Sino melipat rapi koran yang tadi dibacanya. Mereka melangkahkan
kakinya ke luar café, dan mempercepat langkahnya ketika awan mulai menjatuhkan
air matanya.
No comments:
Post a Comment
Blogger maniacs will leave the comment for inspirating the writer.